Pemikiran di atas sangatlah kontroversial dan bisa langsung kita kritik supaya mereka yang mempelajari konsep Wahdat Al Adyan ini tidak menelannya mentah-mentah dan harus berupaya menyikapinya dengan kehati-hatian.
Pertama, Al-Hallaj semasa hidupnya jelas tidak mempelajari semua agama yang ada di zamannya. Lantas, bagaimana dia bisa memastikan semua agama itu sama? Kemudian, jika semua agama itu sama, apa gunanya lagi orang beragama karena toh semua agama itu sama?
Kedua, ajaran hulul perlu dikritik karena bahkan Nabi Musa yang sudah berdialog langsung dengan Tuhan di Gunung Sinai untuk kemudian pingsan karena tak kuat menatap secuil penampakan Tuhan kepada gunung yang hancur berantakan maupun Nabi Muhammad yang sudah mikraj bertemu Tuhan tidak pernah mengklaim adanya Tuhan di dalam dirinya. Lalu, mengapa Al-Hallaj yang hanya seorang salik sufi bisa mengklaim demikian?
Ketiga, mengulang kritik Reynold Nicholson dalam The Mystics of Islam (Routledge, 1975), Al-Hallaj sepertinya berbicara di bawah pengaruh ketidaksadaran karena begitu masyuk pencerapannya terhadap Tuhan. Jadi, Al-Hallaj hanya merasa dia telah bersatu dengan Inti Ilahi, padahal sebenarnya dia hanya bersatu dengan salah satu sifat Ilahi.
Dengan kata lain, para salik dan peminat tasawuf tetap harus mengkaji segala pemikiran tasawuf secara kritis tanpa mengabaikan syariat dan keperluan untuk bersikap realistis-pragmatis menjalani hidup di dunia. Inilah yang disebut Haidar Bagir dalam Mengenal Tasawuf (Naura, 2019) sebagai tasawuf positif. Itulah tasawuf yang menentang tasawuf eksesif atau negatif yang menyangkal dunia, mempromosikan irasionalitas, dan cenderung egois hanya mementingkan penyelamatan individual.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI