Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengenal Konsep Hukum Responsif

7 Mei 2025   20:11 Diperbarui: 7 Mei 2025   20:17 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu kritik paling sering yang ditujukan kepada para aparat penegak hukum kita dalam integrated criminal justice system adalah penerapan pendekatan legalistik-formalistik. Inilah pendekatan yang tekstual dalam memandang hukum sebatas apa yang tersurat (tekstual). Salah satu inspirator bagi pendekatan ini adalah Hans Kelsen dengan Pure Theory of Law yang menyatakan bahwa hukum haruslah dimurnikan dari pengaruh sosiologis maupun politik.

Berdasarkan pendekatan ini, seorang nenek yang memungut beberapa butir kokoa di lahan perkebunan orang tanpa izin karena berasumsi biji kokoa itu adalah limbah atau tidak dipakai akhirnya bisa saja dipidanakan dengan tuntutan pencurian. Bahkan sebatas memakai sandal jepit orang tanpa izin pun bisa saja dituntut pidana jika pendekatannya formalistik, legalistik, dan tekstual.

Karena itu, ada pendekatan lain dalam menafsirkan maupun menerapkan hukum. Salah satunya adalah konsep "hukum responsif" yang digagas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan mantan Menkopolhukam Mahfud MD.

Hukum responsif 

Hukum responsif adalah konsep yang dimatangkan Mahfud saat mempertahankan disertasinya Politik Hukum di Indonesia (Rajawali, 2020). Di dalam disertasinya itu, Mahfud membangun model analisa bahwa variabel bebas berupa konfigurasi politik akan memengaruhi variabel terpengaruh karakter produk hukum. 

Apabila konfigurasi politik suatu negara demokratis, demikian dia menyimpulkan, maka produk hukum yang dihasilkan akan bersifat responsif/otonom. Sementara itu, apabila konfigurasi politik suatu negara otoriter/non-demokratis, maka produk hukum yang dihasilkan akan bersifat konservatif/ortodoks.    

Apa yang dimaksud Mahfud dengan konsep-konsep tersebut? Konfigurasi politik demokratis ia definisikan sebagai konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan negara. 

Di sisi lain, konfigurasi politik otoriter/non demokratis ia jabarkan sebagai konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionistis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara. 

Selanjutnya, produk hukum responsif/otonom diartikan sebagai produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan individu maupun berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat. 

Lawannya, produk hukum konservatif/ortodoks adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh.  

Beranjak dari kerangka di atas, kita jadinya dapat memahami bagaimana Mahfud saat memimpin lembaga MK kerap menunjukkan kebijakan yang benar-benar responsif terhadap tuntutan masyarakat. Sebagai contoh, Mahfud membolehkan MK memperdengarkan rekaman hasil penyadapan KPK terhadap Anggodo Widjojo, yang kemudian terbukti membongkar borok sistem hukum di negeri ini pada tahun 2010-an dalam kasus Cicak vs. Buaya yang sangat terkenal itu. 

Berdasarkan konsep hukum responsif, memang jika produk hukum hanya bisa mengecewakan masyarakat, itu berarti masyarakat tersebut tinggal di alam politik yang otoriter di mana penguasa atas nama negara ingin memaksakan dominasinya dan menguntungkan lingkaran elitnya sendiri. Atau setidaknya, masyarakat itu tinggal di dalam sistem otoriter yang dibungkus dengan baju demokrasi prosedural. 

The interpreters that matter, not the law

Temuan menarik lainnya, konstitusi yang sama bisa menghasilkan konfigurasi politik yang berbeda. Misalnya, UUD 1945 yang berlaku pada 1945-1949 melahirkan konfigurasi politik yang demokratis, namun konstitusi yang sama justru melahirkan konfigurasi politik yang otoriter pada 1959-1966 (masa Demokrasi Terpimpin) dan masa Orde Baru. 

Jadi, konsep hukum responsif ingin mengatakan bahwa konstitusi bukanlah huruf mati (dead letters), melainkan sesuatu yang bisa dibawa ke sana ke mari tergantung pada user-nya. Jadinya, it is the interpreters that matter, not the law. 

Berbekal konsep teoretis inovatif ini, seorang hakim jadinya dimungkinkan untuk melakukan terobosan hukum demi mendapatkan keadilan substantif. Maksudnya, hakim jangan terbelenggu oleh positivisme hukum yang hanya mengedepankan aspek prosedural dari hukum tapi mengabaikan aspek substantifnya berupa keadilan. Dalam bahasa akademisnya, hakim harus dengan piawai mendamaikan antinomi berupa kepastian hukum dan keadilan hukum (Pribadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi, Rajawali, 1991).

Jika pendekatan hukum responsif bisa dikombinasikan dengan pendekatan formalistik, niscaya keputusan suatu persidangan akan bisa mendekati kualitas adil yang seadil-adilnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun