Salah satu kritik paling sering yang ditujukan kepada para aparat penegak hukum kita dalam integrated criminal justice system adalah penerapan pendekatan legalistik-formalistik. Inilah pendekatan yang tekstual dalam memandang hukum sebatas apa yang tersurat (tekstual). Salah satu inspirator bagi pendekatan ini adalah Hans Kelsen dengan Pure Theory of Law yang menyatakan bahwa hukum haruslah dimurnikan dari pengaruh sosiologis maupun politik.
Berdasarkan pendekatan ini, seorang nenek yang memungut beberapa butir kokoa di lahan perkebunan orang tanpa izin karena berasumsi biji kokoa itu adalah limbah atau tidak dipakai akhirnya bisa saja dipidanakan dengan tuntutan pencurian. Bahkan sebatas memakai sandal jepit orang tanpa izin pun bisa saja dituntut pidana jika pendekatannya formalistik, legalistik, dan tekstual.
Karena itu, ada pendekatan lain dalam menafsirkan maupun menerapkan hukum. Salah satunya adalah konsep "hukum responsif" yang digagas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan mantan Menkopolhukam Mahfud MD.
Hukum responsif adalah konsep yang dimatangkan Mahfud saat mempertahankan disertasinya Politik Hukum di Indonesia (Rajawali, 2020). Di dalam disertasinya itu, Mahfud membangun model analisa bahwa variabel bebas berupa konfigurasi politik akan memengaruhi variabel terpengaruh karakter produk hukum.Â
Apabila konfigurasi politik suatu negara demokratis, demikian dia menyimpulkan, maka produk hukum yang dihasilkan akan bersifat responsif/otonom. Sementara itu, apabila konfigurasi politik suatu negara otoriter/non-demokratis, maka produk hukum yang dihasilkan akan bersifat konservatif/ortodoks. Â Â
Apa yang dimaksud Mahfud dengan konsep-konsep tersebut? Konfigurasi politik demokratis ia definisikan sebagai konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan negara.Â
Di sisi lain, konfigurasi politik otoriter/non demokratis ia jabarkan sebagai konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionistis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara.Â
Selanjutnya, produk hukum responsif/otonom diartikan sebagai produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan individu maupun berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat.Â
Lawannya, produk hukum konservatif/ortodoks adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Â
Beranjak dari kerangka di atas, kita jadinya dapat memahami bagaimana Mahfud saat memimpin lembaga MK kerap menunjukkan kebijakan yang benar-benar responsif terhadap tuntutan masyarakat. Sebagai contoh, Mahfud membolehkan MK memperdengarkan rekaman hasil penyadapan KPK terhadap Anggodo Widjojo, yang kemudian terbukti membongkar borok sistem hukum di negeri ini pada tahun 2010-an dalam kasus Cicak vs. Buaya yang sangat terkenal itu.Â