Di tengah deru kemajuan teknologi yang kian pesat, dunia keuangan jelas tak luput dari perubahan radikal. Salah satunya yang sedang heboh (hype) di dunia finansial dan mulai digandrungi kalangan investor, utamanya dari kalangan milenial dan Generasi Z, adalah penawaran investasi matauang kripto (cryptocurrency). Inilah bentuk matauang digital yang tidak tersedia dalam bentuk fisik seperti koin dan uang tunai, melainkan bersifat sepenuhnya virtual. Contoh dari uang kripto adalah bitcoin, ethereum, litecoin, dogegoin, dan lain sebagainya. Dari beraneka uang kripto itu, bitcoin adalah yang paling populer dengan nilai per keping bisa mencapai puluhan ribu dolar AS.
Meski nilainya sering ambruk, investasi kripto tetap populer. Ini mungkin karena sikap fomo investasi alias fear of missing out (takut ketinggalan tren) dalam berinvestasi. Persis seperti demam emas (gold fever) yang terjadi saat ini.
Namun di Indonesia, ada dua pandangan utama yang saling berseberangan terkait uang kripto ini. Pertama, pandangan yang mengakui potensi uang kripto sebagai komoditas investasi. Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Badan Pengawas Perdagangan Komoditi (Bappebti) Tirta Karma Senjaya misalnya mengatakan aset kripto layak dijadikan investasi berdasarkan Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka (merdeka.com, 29/10/2021). Nilai transaksi aset kripto pun meningkat terus di Indonesia. Artinya, kripto mulai mendapatkan tempat di masyarakat.Â
Kedua, pandangan yang mengkritik tajam uang kripto. Ini misalnya diwakili oleh dua fatwa pengharaman komoditas tersebut dari Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur (LBM PWNU Jatim) dan Majelis Ulama Islam (MUI). LBM PWNU Jatim menilai uang kripto haram karena lebih banyak unsur spekulatif dan tidak terukur.Â
Sementara itu, MUI pada Forum Ijtima Ulama tanggal 11 November 2021 mengharamkan penggunaan uang kripto sebagai matauang dengan alasan mengandung gharar atau ketidakpastian. Selain itu, MUI berpendapat uang kripto tidak memenuhi syarat syariah berupa harus memiliki wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik, dan bisa diserahkan ke pembeli.
Tak pelak, masyarakat awam kebingungan menghadapi dua pandangan yang saling bertentangan terkait legalitas dan keamanan uang kripto ini. Karena itu, pandangan yang mendamaikan keduanya sangat diperlukan.
Kata kunci dalam keamanan satu produk keuangan atau investasi pada hakikatnya adalah underlying asset, yaitu keberadaan aset fisik yang menjadi dasar atau cantelan bagi nilai suatu produk keuangan. Sebagai contoh, underlying asset yang umum bagi fondasi nilai matauang adalah emas.Â
Hal ini kemudian berakhir ketika Presiden AS Richard Nixon memberlakukan konsep fiat money dalam rangkaian kebijakan Nixon Shock" alias rangkaian kebijakan ekonomi AS pada 1971 untuk merespons peningkatan inflasi. Dalam kebijakan fiat money, nilai matauang dolar AS tidak lagi disandarkan pada cadangan emas yang dimiliki negara Uwak Sam itu, melainkan semata ditumpukan pada reputasi AS sebagai negara superpower.
Pada gilirannya, konsep fiat money ini membuat nilai matauang dolar AS kuat secara arbitrer (semena-mena) dan hanya menguntungkan kepentingan hegemoni AS. Akibatnya, dalam jangka panjang, mulai timbul ketidakpercayaan sebagian kalangan terhadap matauang konvensional, sehingga muncul ikhtiar untuk menginisiasi dan menggunakan matauang alternatif seperti kripto.
Ketiadaan underlying asset juga yang sebenarnya menjerembabkan AS ke krisis finansial 2007-2008 akibat produk investasi derivatif subprime mortgage. Dalam "Toxic Paper", (Newsweek, March 2, 2009), Hernando de Soto menjelaskan bahwa krisis finansial global 2007-2008 yang berpusat di AS adalah buah dari surat berharga beracun (toxic paper) berupa instrumen-instrumen derivatif. Sebab, surat-surat itu hanyalah kertas belaka yang tidak memiliki underlying asset berupa aset riil. Bagi de Soto, ini menyalahi pakem bahwa instrumen finansial legal mesti merepresentasikan nilai berbasiskan aset riil semisal rumah, saham, dan lain-lain.Â