Tanggal 23 April diperingati sebagai Hari Buku Dunia atau World Book Day. Namun, Indonesia merayakannya dengan suasana penuh keprihatinan. Pasalnya, meski sekitar 95% dari masyarakat kita sudah melek huruf (literate), tapi masih banyak yang belum melek-baca (book-literate). Akibatnya, sejumlah penerbit besar pun pada umumnya hanya berani mencetak 2.000 eksemplar sampai 4.000 eksemplar per judul untuk buku cetakan pertama, dengan pengecualian jika penulisnya sudah terkenal.
Mirisnya lagi, perpustakaan kita juga jarang dikunjungi pembaca. Sungguh fakta mengenaskan mengingat pemeo bangsa yang tinggi daya saing globalnya adalah bangsa yang berilmu alias suka membaca!
Maka itu, kita perlu mengidentifikasi beberapa hambatan minat baca dan merumuskan solusi konkret. Sekurangnya ada tiga hambatan utama. Pertama, harga buku di Indonesia masih relatif mahal. Satu buku bermutu standar sekarang berharga rata-rata Rp 400 per halaman. Artinya, buku berketebalan standar 150 halaman saja akan memiliki bandrol sekitar Rp60.000! Di tengah mayoritas masyarakat yang masih bergulat memenuhi kebutuhan pokok, harga itu menjadikan buku kebutuhan nomor sekian.
Kedua, masyarakat kita terlalu tenggelam dalam budaya audio-visual akibat dibombardir dengan begitu banyak tayangan TV dan dunia digital. Sebab, menonton tayangan audio-visual memang lebih mudah dicerna dibandingkan membaca buku yang lebih menguras pikiran.Â
Ketiga, menulis---kegiatan yang terkait langsung dengan membaca---sulit menjadi profesi yang mampu menghidupi diri. Maksudnya, sulit bagi orang kebanyakan untuk bisa mengharapkan hidup layak jika semata mengandalkan dari kegiatan menulis.Â
Betapa tidak, merujuk pengalaman pribadi saya, seorang penulis buku umumnya baru mendapatkan royaltinya enam bulan sekali dan itu pun belum dipotong pajak yang cukup tinggi. Atau, penulis kolom opini seperti saya di media massa perlu menunggu 2 minggu sampai 2 bulan untuk mendapatkan honorarium dari tulisannya (berkisar Rp150.000 --- Rp750.000) yang sudah dimuat di surat kabar, majalah, atau media daring.
Memang, ada sejumlah kasus di mana seorang penulis dapat hidup berkecukupan, seperti Andrea Hirata, Tere-Liye, atau Raditya Dika. Akan tetapi, beberapa kasus tersebut adalah pengecualian. Â
Nah, jika menulis sulit diharapkan sebagai sumber utama mata pencaharian, tentu logis bahwa kegiatan yang merupakan modal untuk menulis---yaitu membaca---jadi tidak menarik alias kurang seksi untuk digeluti. Â
Beranjak dari ketiga hambatan di atas, ada beberapa solusi yang dapat ditempuh apabila kita ingin menggalakkan minat baca bangsa ini. Satu, hambatan mahalnya harga buku dapat disiasati jika penerbit, apalagi jika disubsidi pemerintah dalam bentuk insentif pajak atau lainnya, berinisiatif menggalang penerbitan buku edisi murah.Â
Menurut sejumlah editor penerbit yang penulis hubungi, edisi semacam itu sudah lazim dan populer dengan nama thrift edition. Biasanya edisi tersebut berkover sederhana, berkertas tidak terlalu mewah, dan berisikan karya-karya klasik yang tidak memerlukan pengurusan hak cipta. Yang penting, ongkos produksi bisa ditekan serendah mungkin demi melahirkan harga buku yang murah.Â
Selain itu, hambatan harga buku tadi bisa pula diatasi dengan menggairahkan kembali peran perpustakaan umum (public library). Koleksi perpustakaan umum mesti diperlengkap, suasananya dipernyaman, dan jam bukanya diperpanjang sehingga orang rela datang ke perpustakaan dan betah berlama-lama di sana.Â