April ini 70 tahun yang lalu, tepatnya dalam kurun waktu 18-24 April 1955, sebuah bangsa yang baru satu dasawarsa merdeka berhasil menorehkan prestasi luar biasa di Bandung: Indonesia yang baru merdeka kurang dari 10 tahun sukses menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang mempertemukan berbagai politisi berwarna kulit nonputih, yaitu kuning, hitam, cokelat, dan sawo matang dari berbagai penjuru dunia. Majalah National Geographic pada tahun itu bahkan menyebut Indonesia sebagai Raksasa Muda (the Young Giant) akibat prestasi monumental tersebut.
Sebagaimana dikisahkan buku 60 Tahun Konferensi Asia Afrika (Tempo bekerja sama dengan Penerbit KPG, 2015), dampak KAA 1955 sangatlah nyata. Diprakarsai para tokoh pejuang kemerdekaan seperti Nkrumah dari Ghana, Gamal Abdel Nasser dari Mesir, dan Julius Nyerere dari Tanzania, negara-negara Afrika berhasil mendorong dikeluarkannya Resolusi Sidang Umum PBB Nomor 1514 Tahun 1960 tentang Dekolonisasi. Momen KAA pun menginspirasi merdekanya Sudan, Nigeria, dan Aljazair. Sebab, pada tahun-tahun pergerakan hampir setiap pidato pemimpin Aljazair dan Afrika pada umumnya mengutip Dasasila Bandung KAA 1955 yang memuat soal hak setiap bangsa untuk merdeka dan berdaulat. Dalam KAA juga digagas pentingnya membuat suatu gerakan nonblok yang tidak memihak blok Barat (Amerika Serikat) maupun blok Timur (Uni Soviet) demi mewujudkan perdamaian dunia yang abadi.
Sayangnya, 70 tahun kemudian, dunia justru terperangkap dalam suatu ironi. Di tengah menyebarluasnya pengakuan akan ide demokrasi maupun hak asasi manusia, peperangan terus saja terjadi dengan skala tinggi kekerasan, seperti kita lihat dalam konflik Israel - Palestina atau Rusia - Ukraina. Alhasil, dunia saat ini tidak jauh berbeda dengan awal abad ke-20 yang menyaksikan banyak perang dan agresi satu bangsa terhadap bangsa lain, termasuk dua perang dunia. Ini lantas menimbulkan pertanyaan: apakah mungkin perdamaian abadi terwujud di dunia?Â
Namun, semangat KAA 1955 harusnya mengobarkan optimisme bahwa perdamaian sangat mungkin tercipta di dunia. Dan, optimisme semacam itu akan menguat jika kita membaca buku filsuf Jerman, Immanuel Kant, berjudul Zum Ewigen Frieden (diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Menuju Perdamaian Abadi, Mizan, 2005.)
Menurut Kant, perdamaian abadi itu hanya dimungkinkan jika melalui kebijakan politik yang menempatkan diri di bawah "paham kewajiban hukum murni." Dengan kata lain, kebijakan yang secara prinsip taat hukum. Berdasarkan keyakinan ini, Kant kemudian memberikan sejumlah resep bagi tercapainya perdamaian abadi di muka bumi.
Pertama, hanya negara-negara berbentuk republik yang dapat menciptakan perdamaian lestari. Republik di sini maksudnya adalah negara-negara demokratis. Apa itu republik yang demokratis? Itulah negara di mana semua warga negara bebas, berada di bawah hukum yang sama (baca: supremasi hukum), dan memiliki kedudukan setara.
Kedua, negara-negara yang ingin menciptakan perdamaian lestari harus membentuk sebuah serikat (konfederasi) yang diikat oleh hukum yang berlaku sebagai 'hukum bangsa-bangsa'. Ketiga, orang asing harus diterima sebagai tamu. Atau, dalam bahasa Kant, "hukum warga dunia harus terbatas pada persyaratan keramahtamahan universal." Maksudnya, negara asing silakan saling mengunjungi tapi dengan niat bersahabat, bukan menjajah. Singkat kata, Kant menolak ambisi kolonialisme.
Keempat, perdamaian abadi membutuhkan kehendak moral untuk tetap berdamai dari para aktor politik yang bermoral atau "politisi moral". Jika kehendak moral ini ada, mekanisme alam akan menyalurkan kecenderungan egois manusia ke arah upaya penjagaan perdamaian.
Konteks saat iniÂ