Namun lebih daripada sekadar keterpesonaan, Kartini menyuntikkan elemen Ketuhanan dalam ekonomi. Pasalnya, dalam salah satu surat yang banyak menyinggung isu ketuhanan, Kartini berangkat dari fakta memprihatinkan betapa jauh ajaran ideal agama dari realitas praktis. Konteksnya, Kartini trenyuh melihat banyak agama yang hanya mementingkan penyebarluasan ajaran agamanya ketimbang memecahkan masalah-masalah konkret seperti kemiskinan. Padahal, jika saja agama mampu membebaskan manusia Indonesia yang miskin karena penjajahan, maka rakyat Indonesia pun pasti bersimpati kepada ajaran agama yang mewartakan pembebasan tersebut (Kartini Pribadi Mandiri, Gramedia, 1990).
 Artinya, Kartini adalah salah satu perintis paham sosialisme religius yang mendasari pasal 33 UUD 1945--pasal ekonomi---rumusan Bung Hatta. Merujuk Bung Hatta dalam Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia (1963), Islam sebagai agama yang menghendaki persaudaraan (ukhuwah) dan tolong-menolong antara sesama manusia dalam pergaulan hidup memang lebih condong pada sosialisme. Sebab, tujuan Islam berjalan seiring dengan tujuan sosialisme, yakni menciptakan pergaulan hidup yang menjamin kemakmuran bagi semua orang, memberikan kesejahteraan merata, dan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan.Â
Akhirulkalam, secara luar biasa Kartini adalah salah satu tonggak penting dalam arkeologi pemikiran ekonomi Indonesia. Dia adalah sosok yang merangkum semangat zamannya---baik lokal maupun global---dan secara kreatif melahirkan konsep terobosan yang relevan bagi perjalanan bangsanya. Buktinya: pemikiran ekonomi Kartini terus bergema hingga mewarnai konstitusi dan menjadi panduan moral ideal bagi praktik kebijakan ekonomi Indonesia saat ini, pun kenyataan yang terjadi masih jauh panggang dari api. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI