Selama ini, orang selalu mengaitkan genealogi---didefinisikan filsuf pascastrukturalis Michel Foucault sebagai "disiplin yang mencari faktor-faktor pembentuk satu artefak pemikiran (K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid 2, 1996)---pemikiran ekonomi Indonesia dengan hanya segelintir nama: Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Sjafruddin Prawiranegara, atau Sumitro Djojohadikusumo. Padahal, secara mengejutkan, ada satu nama minoritas---karena gender perempuannya---yang tercecer: R.A. Kartini (1879-1904). Â
Lihat saja, dalam sepucuk suratnya bertarikh 25 Mei 1899 kepada sahabat penanya, Stella Zandelaar, Kartini mengemukakan ia menginginkan perempuan Hindia Belanda menjadi "perempuan modern dan independen, yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya, ceria dan kuat, antusias dan punya komitmen, bekerja tidak hanya untuk kepuasan dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat luas dan bekerja sama." ( dikutip dari Habis Gelap Terbitlah Terang, Djambatan, 1989). Â
Filsafat kerja Â
 Pendapat betapa kerja tidak berdimensi sempit dan individualistis adalah revisi bagi filsafat kerja Karl Marx. Sebab, Marx berpendapat manusia pada hakikatnya adalah homo faber (makhluk pekerja) yang mendapatkan pemenuhan dirinya lewat produk yang ia kerjakan. Namun sayangnya, kedatangan struktur kapitalistis dan kaum borjuis menjadikan produk itu justru sebagai komoditas bernilai-lebih (Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, Gramedia, 1995).Â
Alhasil, manusia tidak lagi mendapati kerja sebagai sesuatu yang mengasyikkan, melainkan justru mengidap perasaan alienasi (keterasingan) karena dia tak lagi bisa menganggap produk itu sebagai hasil curahan potensi dirinya. Maka itu, struktur kapitalistis harus diruntuhkan lewat revolusi kaum buruh (proletariat) terhadap sistem kapitalistis yang menguntungkan kelas pengusaha alias pemilik modal.
Kartini sebaliknya dengan nada lembut menyatakan pemikiran manusia tentang kerja justru harus diluaskan hingga menjangkau nasib orang lain. Sehingga, nuansa pemikiran ekonomi Kartini ini bagai mempertemukan pemikiran liberal yang individualistis dengan pemikiran sosialisme yang bersendikan kolektivitas.
 Mencengangkannya, pendapat ini digemakan dua tokoh pemikir ekonomi terkemuka: Sismondi dan Hobson. Mereka adalah dua tokoh yang mengembangkan sintesa awal antara kapitalisme liberal dan sosialisme. Keduanya mengakui hak milik pribadi seperti kapitalisme liberal sekaligus bercorak sosialisme dengan menonjolkan peranan negara sebagai agen intervensi.Â
Mengutip Mikhael Dua dalam Filsafat Ekonomi (Kanisius, 2008), kedua pemikir menjelaskan bahwa ekonomi sosial merupakan suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada prinsip kebaikan bersama. Artinya, produksi barang dan layanan harus ditangani sedemikian rupa demi memaksimalkan kemakmuran manusia.Â
Berdasarkan konsep ekonomi sosial, kebaikan bersama diartikan sebagai kepentingan bersama anggota masyarakat. Jadi, tugas ekonomi sosial adalah memberikan kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk merealisasikan kepentingan bersama sehingga kebutuhan dasarnya sebagai anggota masyarakat terpenuhi. Karena itu, ekonomi sosial mengusulkan agar seluruh kebijakan ekonomi mengedepankan persamaan hak dan kedudukan moral bagi setiap warga negara. Â
Pada titik inilah, pemikiran ekonomi sosial dan Kartini bertemu. Sebab, Kartini berpendapat seseorang dalam melakukan kerja (kegiatan produksi) tidak boleh sekadar mengutamakan kepuasan diri, tapi juga masyarakat luas dan kebaikan bersama. Bagi Kartini, kegiatan ekonomi haruslah bermaslahat bagi masyarakat luas dan bukan sekadar bagi kaum kapitalis pemupuk laba.
Sekaligus, sebagai orang yang terpesona dengan sistem sosial di Eropa, Kartini menggemakan mimpi Eropa di belahan dunia Biru tersebut. Menurut Jeremy Rifkin dalam European Dream (2007), Mimpi Eropa menekankan kesatuan individu dengan masyarakat; kualitas hidup ketimbang akumulasi kekayaan, dan pembangunan lestari alih-alih pertumbuhan materi tak berkesudahan. Pendek kata, Mimpi Eropa lebih menekankan hubungan antarmanusia dan kebersamaan. Itulah sebabnya mengapa kebanyakan negara Eropa sosial demokrat lebih mementingkan bandul kebijakan ekonomi pada aspek kesejahteraan yang sosialistis dengan memberikan berbagai jaminan sosial---seperti jaminan kesehatan, tunjangan pengangguran, dan lain sebagainya---kepada warga negara mereka.