Banyak pemerhati politik, termasuk saya, yang sering berhipotesis bahwa demokrasi Indonesia yang sudah dibangun selama 27 tahun ini rapuh adanya karena telah dibajak oleh oligarki modal maupun politik. Kekagetan banyak aktivis sipil menyusul tiba-tiba berhentinya Presiden Suharto pada 21 Mei 1998 membuat mereka tidak siap mengisi demokrasi baru dengan agenda solid yang disepakati bersama. Kevakuman programatik ini lantas dengan cepat direbut oleh kaum oligarki politik maupun modal yang memang sebagian besar masih menguasai sistem politik yang baru ditinggalkan. Inilah kondisi yang disebut Samuel Huntington dalam The Third Wave (1991) sebagai transplacement, di mana bentuk politik yang baru tenyata masih didominasi wajah lama yang cepat bersalin rupa mengikuti irama zaman baru.Â
Namun, hipotesis itu kini sudah sah terbukti sebagai dalil. Basis teoretisnya adalah Indeks Kekuasaan Material (IKM) atau Material Power Index (MPI) yang mengukur kesenjangan sumber daya material antara kaum oligarki dan rakyat biasa di satu negara (Prisma 1, 2014).  Bahasa mudahnya, indeks ini mengukur konsentrasi kekayaan di tangan kaum oligarki. Tahun 2011 saja, Indonesia sudah menduduki peringkat 2, hanya kalah dari China. Indeks Indonesia kala itu adalah 630.000 banding 1. Tapi 12 tahun kemudian Indonesia sudah menduduki peringkat 1 dengan indeks 1.236.795 (Kompas.id, 15/3/2025). Artinya, pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang tidak istimewa-istimewa amat--tapi selalu dibanggakan melebihi negara lain di tengah pelemahan global--hanyalah terkonsentrasi di kalangan elit oligark modal maupun politik, suatu kombinasi maut bernama "penguasaha".
Jadi, Indonesia sudah sah ditabalkan sebagai sistem politik dengan bangunan oligarki yang megah sembari menyembunyikan kepapaan nasib masyarakat jelata sisanya di ruang-ruang ghetto politis. Negara memang tetap memberikan banyak program karitatif, tapi itu semata sekadar untuk membuat rakyat tidak marah. Dalam terminologi ilmu politik, itulah kebijakan yang bernama "populisme teknokratis", di mana kebijakan populis seperti subsidi diberikan hanya dalam rangka kalkulasi rasional-teknokratis untuk menghindari masyarakat lapar yang anarkis dan justru membahayakan bangunan oligarkis yang megah itu.
Menurut Eric Hiariej ("Politik Pasca-Klientelisme", Prisma 1, 2017), kebijakan populisme teknokratis ini semata merupakan bentuk kebijakan yang menjanjikan program kesejahteraan, tapi tidak berasal dari keberpihakan kepada rakyat berdasarkan visi tertentu. Dengan kata lain, kebijakan itu hanya bersifat minimal untuk menenangkan rakyat, sementara persekutuan para anggota elit oligarkis akan terus berlanjut.
Parahnya lagi di Indonesia, arsitektur oligarkis ini bersenyawa dengan konstruksi kartel politik hingga membentuk bangunan kartel-oligarkis. Menurut disertasi Kuskridho Ambardi (Mengungkap Politik Kartel, KPG, 2009), dua ciri utama kartel politik adalah hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai dan sikap permisif dalam pembentukan koalisi. Sementara itu, oligarki didefinisikan Richard Robison dan Vedi Hadiz (Prisma 1, vol.33, 2014) sebagai "sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektif atas konsentrasi kekayaan". Jika kita gabungkan, sistem kartel-oligarkis menjadi "sistem di mana kekuasaan politik berada di tangan segelintir kaum kaya sedemikian rupa sehingga partai politik tidak lagi mementingkan ideologi dan bersifat pragmatis (berorientasi hasil dan manfaat bagi elit) dan permisif dalam perilaku mereka."
Jalan buntu?
Lantas, apakah massa-rakyat berarti menemui jalan buntu untuk mencapai cita-demokrasi sejati yang diidamkan para bapak baghsa kita, terutama Bung Hatta, berupa demokrasi ekonomi yang tidak hanya mementingkan kebebasan politik tapi juga kesejahteraan ekonomi? Harusnya tidak jika kita meminjam pepatah bijak, "ketimbang kita mengutuki kegelapan, lebih baik kita menyalakan lilin harapan sembari waspada supaya lilin itu tidak membakar kita".Â
Bagaimana menyalakan lilin harapan itu? Massa-rakyat perlu memanfaatkan penghapusan parliamentary threshold dan presidential threshold yang diberikan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mendirikan berbagai partai politik lengkap dengan calon-calon presiden alternatif dengan visi maupun komitmen segar terhadap demokrasi. Partai-partai baru mesti menegaskan warna ideologis mereka demi menarik loyalitas pemilih dalam bentuk party ID yang tinggi.Â
Asal tahu saja, party ID alias loyalitas konstituen terhadap partai merosot drastis dari 88 persen pada pemilu pertama pasca-Reformasi di 1999 menjadi hanya 10,1 persen pada pemilu 2019 (Burhanuddin Muhtadi, Vote Buying in Indonesia, Palgrave Macmillan, 2019). Ketiadaan loyalitas itu terjadi karena pemilih merasa semua partai itu sama saja. Padahal, jika party ID tinggi, konstituen partai akan lebih militan dan juga akan patuh menjatuhkan pilihan pada calon presiden yang diusung oleh partai bersangkutan.
Permodalan partai juga harus diupayakan mandiri, tidak tergantung pada pemodal besar yang justru akan melahirkan atau melestarikan oligarki lain. Di sinilah, peran kesukarelawanan sipil (civil voluntarism) sebagai bentuk partisipasi publik (public participation) yang autentik ditempa dan diuji. Masyarakat jadinya perlu diperkenalkan dengan literasi politik demi mengasah etos Republikanisme yang menuntut peran aktif masyarakat sipil dalam memperjuangkan dan mengawal demokrasi (Robertus Robet, Republikanisme, Marjin Kiri, 2023).  Sekolah-sekolah atau kursus-kursus politik formal maupun klandestin perlu dimarakkan demi mengasah etos Republikanisme tersebut.