Saat ini, konstitusi kita UUD 1945 tidak membolehkan seorang presiden dan wakil presiden menjabat lebih dari dua kali masa jabatan. Namun, konstitusi tidak melarang seorang presiden yang sudah menjabat dua kali kemudian mencalonkan diri menjadi wakil presiden dan memenangi posisi tersebut.
Ada yang beranggapan skenario ini menyalahi etika karena mengesankan sang presiden begitu haus kekuasaan sampai rela turun jabatan menjadi wakil presiden. Di sisi lain, ada argumen bahwa jika seorang presiden kemudian menjadi wakil presiden, hal demikian akan menjamin stabilitas politik dan kontinuitas kebijakan. Tambahan lagi, sang wakil presiden yang mantan presiden itu akan mampu memberikan pendampingan dan masukan berharga bagi sang presiden baru. Artinya, terlepas dari etis atau tidak, wacana ini akan memberikan manfaat besar bagi bangsa ini.
Di tengah perdebatan tersebut, hal yang sering terlupa dari banyak orang adalah betapa Amerika Serikat (AS) sebagai kiblat demokrasi ternyata pernah hampir dilanda fenomena serupa. Uniknya, fenomena itu di AS sana dianggap tidak bermasalah dari segi etika, melainkan hanya mengundang potensi problem dari segi praktis di dunia nyata.
Duet Reagan dan Ford
Gerald Ford mungkin presiden paling unik dan beruntung dalam sejarah AS. Lihat saja, akibat kasus penghindaran pajak, Wakil Presiden Spiro Agnew sebagai pendamping Presiden Richard Nixon terpaksa mengundurkan diri pada 1973. Posisinya kemudian digantikan oleh Ford, yang sebelumnya merupakan tokoh senior partai Republik, partai tempat Nixon bernaung. Setahun kemudian, Presiden Nixon tersangkut mega-skandal Watergate, sehingga dia harus mengundurkan diri. Akibatnya, Ford sebagai wakil presiden dilantik menjadi presiden menggantikan Nixon. Sekaligus, ini menjadikan Ford sebagai satu-satunya presiden dalam sejarah AS yang meraih jabatan wakil presiden dan presiden tanpa melalui proses pemilihan umum (election).
 Sejarah kemudian menunjukkan Ford berhasil melanjutkan sisa masa jabatan kepresidenan hingga selesai pada 1976 sebelum kemudian dikalahkan Jimmy Carter dari Partai Demokrat pada pemilihan presiden AS berikutnya.
 Selanjutnya, pada pemilihan presiden AS 1980, Jimmy Carter bersaing dengan kandidat lain Partai Republik, Ronald Reagan. Pada titik inilah, Reagan mencari pasangan yang pas sebagai wakil presiden guna mengerek elektabilitasnya dan mengalahkan Carter. Sebagaimana diceritakan secara memikat oleh Kate Anderson Bowers dalam studinya mengenai peranan wakil presiden dalam sejarah AS, First in Line (HarperCollins, 2018, hal.33-38), tim kampanye pemenangan Reagan tadinya ingin memasangkan kandidat mereka dengan George H.W Bush (Bush Sr.) karena Bush merupakan runner-up dalam primary (semacam konvensi) Partai Republik dalam mencari kandidat presiden. Akan tetapi, Reagan menolak karena dia sebenarnya tidak begitu mengenal Bush. Tambahan lagi, Reagan sangat sakit hati dengan kecaman Bush yang menyebut kebijakan pajak Reagan sebagai "ekonomi voodoo." Reagan lebih menyukai mantan Presiden Gerald Ford yang berpengalaman dan bisa memberikan nasihat berharga kepadanya.Â
Di sini, media dan rakyat AS tidak mempermasalahkan apakah etis bagi mantan Presiden Ford untuk menjadi calon wakil presiden. Reagan juga tidak menganggap hal demikian tidak etis. Yang ada dalam pikiran Reagan hanyalah pertanyaan apakah seorang mantan presiden seperti Ford rela turun jabatan menjadi wakil presiden. Namun, dia berpikir bisa saja Ford bersedia mengingat Ford belum pernah mengikuti pemilihan presiden sebelumnya.
 Akhirnya, Reagan dan Ford sepakat mengadakan rangkaian pertemuan pada Juni-Juli 1980. Tim Reagan juga sangat bersemangat dan menyebut pasangan ini sebagai "duet impian" jika memang benar terwujud. Reagan bahkan memberikan konsesi luar biasa kepada Ford: dia akan menjadikan Ford sekaligus sebagai chief of staff (jabatan sangat penting dalam menentukan tokoh kunci pemerintahan) dan memegang kendali atas Dewan Keamanan Nasional, Dewan Penasihat Ekonomi, dan kantor anggaran.
 Sayangnya, kesepakatan antara dua tokoh ini harus batal karena dua hal. Pertama, Ford melangkah terlalu jauh dengan keinginannya untul ikut membentuk kabinet, yaitu ketika ia setengah memaksa Reagan untuk menunjuk Henry Kissinger sebagai Menteri Luar Negeri jika mereka menang.Â
Kedua, Ford juga dianggap kelewatan ketika ia mengatakan mereka berdua akan menjalankan semacam kepresidenan bersama (co-presidency), yang jelas tidak dikenal dalam konstitusi AS sekaligus menggerogoti wibawa Reagan sebagai calon presiden karena potensi adanya "matahari kembar". Akhirnya, sebagaimana dicatat dalam sejarah, Reagan memenangi pemilihan presiden AS bersama George Bush Sr sebagai wakil dan mereka berdua sukses menjabat dua masa jabatan, plus George Bush Sr. kemudian terpilih menjadi presiden berikutnya menggantikan Reagan.
Etis dengan catatan
Belajar dari pengalaman AS yang demokrasi politiknya tentu lebih matang dibandingkan Indonesia, kita lihat bahwa tidak ada masalah etika terkait seorang mantan presiden yang kemudian ingin mencalonkan diri jadi wakil presiden. Hanya saja, ketiadaan problem etis ini bisa terjadi jika memenuhi tiga syarat. Pertama, keinginan sang mantan presiden untuk menjadi calon wakil presiden harus disertai dengan komitmen politik kuat lagi luhur dari yang bersangkutan untuk mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan kekuasaan.Â
Kedua, sang mantan presiden yang menjadi calon wakil presiden harus berkomitmen juga untuk tidak menjadi semacam "presiden bayangan"---co-presidency dalam bahasa Ford---yang ingin mencuri panggung (stealing the spotlight) dan justru mengganggu tugas serta martabat presiden terpilih.Â
Ketiga, dalam konteks Indonesia, kebolehan seorang mantan presiden menjadi calon wakil presiden harus berlaku pula kepada mantan presiden lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI