Saya dulu sekali pernah membaca entah di mana seorang akademisi yang berpendapat bahwa untuk membedah karya seseorang, entah itu karya susastra atau karya akademis, kita tidak perlu mengetahui latar belakang kehidupan pengarang alias biografinya. Keduanya adalah entitas yang terpisah. Saya membahasakannya secara sederhana dengan ungkapan bahasa Inggris, mind over body alias pikiran bisa mentransendensikan tubuh. Kaji saja teks-nya dan temukan makna di balik teks itu tanpa perlu banyak berurusan dengan biografi sang pengarang.
Namun, bagi saya itu seperti apa yang disebut Alan Sokal sebagai fashionable nonsense atau omong kosong yang berpretensi keren saja. Secara heuristis (asumsi mandiri) saja kita bisa bersyak-wasangka bahwa pastilah pemikiran seseorang sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang hidupnya. Dalam dunia filsafat, saya kemukakan tiga contoh secara singkat.
1. Â Karl Marx (1818 - 1883)
Seperti diceritakan oleh sastrawan Mario Vargas Llosa dalam kumpulan tulisan nonfiksinya, Matinya Seorang Penulis Besar (Shiramedia, 2018), Karl Marx adalah intelektual miskin dengan banyak anak, yang sebagiannya penyakitan, dan harus sering berutang pada rekan intelektualnya Friedrich Engels. Kondisi seperti ini tentu menjadi bahan bakar berlimpah bagi kobaran emosi maupun pikiran untuk menggulingkan sistem ekonomi dan mode produksi kapitalistis pemuja laba yang meminggirkan nasib ekonomi banyak orang.
2. Albert Camus (1913 - 1960)
Albert Camus merupakan sosok yang sejak usia muda sudah divonis mengidap penyakit tuberkulosis (TBC) sejak sekolah menengah atas (dalam pengantar penerjemah NH Dini untuk karya Camus, Sampar, Yayasan Obor Indonesia, 2013). Alhasil, bayang-bayang kematian sudah menghantuinya sejak dini. Kondisi seperti ini cocok untuk mengimajinasikan absurdnya dunia ini yang begitu tega mencoba merampas kehidupan dari orang yang masih belum mengecap nikmatnya hidup. Hal demikian paralel dengan tema pemikirannya tentang absurditas sebagaimana tercermin dalam buku nonfiksinya Mitesisifus (terjemahan Gramedia, 1999) atau dalam karya-karya fiksinya seperti The Stranger, The Fall, The Plague, dan lain sebagainya. The Plague, yang di Indonesia diterjemahkan dengan bagus sekali sebagai Sampar oleh sastrawan NH Dini, bisa jadi menggemakan refleksi Camus tentang penyakit fisiknya sendiri. Seakan menegaskan filsafatnya, akhir hidup Camus juga boleh dibilang absurd. Senantiasa dibayang-bayangi oleh penyakit paru yang sewaktu-waktu bisa menyergap ajalnya, Camus justru menemui akhir hayatnya dalam kecelakaan mobil acak pada 1960 dalam usia relatif muda, 47 tahun.
3. Friedrich Nietzsche (1844 - 1900)
Friedrich Nietzsche adalah filsuf besar dengan pemikiran nihilisme dan perlunya sosok overman yang bisa melampaui (overcome) dirinya sendiri dan menciptakan nilai-nilainya sendiri secara percaya diri berbekalkan mentalitas tuannya. Menurut Fuad Hassan dalam Berkenalan dengan Eksistensialisme, Pustaka Jaya, 1992), Nietzsche sebagai anak bungsu sejak kecil hidup dimanja, terutama oleh kakak perempuannya, dan sakit-sakitan sepanjang hidupnya. Nietzsche juga sosok perasa yang gampang tersentuh hatinya dan bisa menangis tersedu-sedu ketika, misalnya, melihat hewan dianiaya. Terlihat di sini pemikiran Nietzsche sedikit banyak merupakan proyeksi diri-yang-lain dari dirinya sendiri yang sakit-sakitan, sehingga dalam proyeksi itu Nietzsche membayangkan sosok manusia super luar biasa untuk mengkompensasi keringkihan diri sang pengarang.
Demikianlah tiga contoh adanya hubungan antara pemikiran filsafat seorang filsuf dengan latar belakang kehidupannya. Semoga ada sedikit manfaatnya. Insya Allah akan saya lanjutkan di lain waktu dan kesempatan dengan tokoh-tokoh lainnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI