Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Subak dan Spirit Gotong-Royong Pancasila

24 Februari 2025   11:37 Diperbarui: 24 Februari 2025   11:37 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Subak di Bali (Sumber: www.kumparan.com dari foto Ramadhani Hafid di Unsplash.com)

Sebagai bangsa Indonesia, kita harus bangga akan kekayaan budaya yang kita miliki. Salah satunya adalah sistem pengairan Subak, yang bahkan sudah mendapatkan pengakuan prestisius dari UNESCO: Situs Warisan Dunia (World Heritage Sites). Namun, Subak sejatinya bukan berharga hanya karena ia situs warisan dunia. Melainkan, Subak sudah terbukti sebagai salah satu perwujudan spirit Pancasila dalam memecahkan masalah-masalah konkret manusia Indonesia.

Sebagai cara mengatur air atau sistem pengairan sawah dari Bali, Subak boleh dibilang teladan paripurna betapa spirit ekasila gotong-royong Pancasila (Sukarno, "Pancasila," dalam Herbert Feith dan Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES, 1991) mampu memecahkan masalah manusia berupa peningkatan produktivitas pertanian. Setidaknya ada tiga hal yang menegaskan itu.

Pertama, sawah berundak-undak dari kaki bukit sampai puncak bukit di Bali, biasa disebut terasering, meniscayakan sistem pengairan yang cermat. Tanpa itu, penggunaan air bisa boros, di mana sawah di puncak bukit kelebihan air, sementara sawah di kaki bukit kekurangan air. Jika ini yang terjadi, konflik di antara pemilik sawah di puncak dan di kaki bukit tentu tak terelakkan. Di sinilah, sistem Subak dengan jitu menggunakan prinsip kunci ekasila gotong-royong sebagai pemecahan. Yaitu, masyarakat Bali mensyaratkan ketua Subak harus selalu dipegang oleh orang yang sawahnya terletak di kaki bukit. Logikanya, sang ketua tentu akan berpikir dan berupaya keras supaya sawahnya itu ikut kebagian air. Dengan begitu, jika sawah sang ketua di bawah mendapatkan cukup air, maka sawah di puncak pun tak bakal kekurangan sistem pengairan. Terjalinlah semangat kebersamaan yang kental dalam suasana harmonis yang merekatkan kohesi sosial masyarakat Bali.

Kedua, Subak ternyata tidak semata-mata mengatur pengairan. Sebaliknya, Subak juga mengatur waktu giliran tanam tiap-tiap sawah. Tujuan penataan waktu yang cermat ini adalah supaya bahaya hama burung atau tikus yang mengancam produktivitas sawah bisa dikendalikan secara bersama-sama alias bergotong-royong.

Ketiga, sistem Subak memiliki sejumlah ritual yang memiliki efek ampuh dalam mempererat kerukunan masyarakat. Sebab, Subak juga mengajak petani untuk berdoa bersama, bergotong royong memperbaiki saluran air, atau mengusir burung beramai-ramai. Terkait pengusiran burung, biasanya masyararakat Bali membuat layangan berukuran besar dan orang-orangan sawah sebanyak-
banyaknya. Hal ini tentu saja meniscayakan kerja sama kolektif dan menumbuhkan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa.

Manifestasi Lima Sila

Kita lihat betapa di dalam sistem Subak, prinsip ekasila gotong-royong cetusan Bung Karno mampu menyajikan solusi praktis bagi permasalahan konkret masyarakat berupa peningkatan produktivitas pertanian. Namun lebih dari itu, sistem Subak juga menjadi manifestasi kelima sila di dalam Pancasila. Pertama, ritual dalam Subak, seperti berdoa bersama, jelas merupakan manifestasi dari watak dasar (karakter) masyarakat Indonesia yang religius dan spiritual. Jelas, ini sesuai dengan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, yang mengandung makna bahwa bangsa Indonesia menempatkan Tuhan sebagai landasan hidup, tapi tidak menjadikan satu agama tertentu sebagai kitab konstitusi.

Kedua, tradisi Subak menanamkan rasa toleransi antaranggota masyarakat Bali dalam menghormati dan memenuhi hak-hak dasar sesama, seperti hak dasar mendapatkan pengairan. Alhasil, ini membantu terciptanya satu masyarakat beradab (civil society) yang memiliki budaya keadaban (civic culture) tinggi sebagaimana dicita-citakan sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Ketiga, tradisi Subak terbukti jitu dalam menganyam semangat kebersamaan di antara sesama warga. Dengan kata lain, suasana kerukunan sosial ini merupakan miniatur dari gagasan ideal sila ketiga, Persatuan Indonesia.

Keempat, proses pemilihan kepemimpinan sistem Subak yang menempatkan orang yang memiliki sawah di kaki bukit sebagai pemimpin adalah wujud konkret sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Sebab, pemilihan pemimpin ini tidak dilakukan lewat voting ala demokrasi Barat yang kerap meminggirkan kaum minoritas. Melainkan, pemilihan itu berproses lewat kebijaksanaan bahwa sang pemilik sawah di kaki bukit pasti akan menjadi
pemimpin yang adil dalam membagikan pengairan. Kembali, inilah miniatur demokrasi khas Indonesia yang tidak mengekor blok Barat tapi juga tidak membebek blok Timur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun