Melihat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang labil, pertumbuhan ekonomi yang kian lesu, utang luar negeri
yang masih besar (pada November 2024 tercatat sebesar USD203,0 miliar), serta naiknya pelbagai harga kebutuhan pokok dan pajak (seperti pajak onsen), apakah perekonomian Indonesia sudah mendengar alarm tanda bahaya dan memasuki krisis baru? Jika iya, bukankah cita-cita mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial akan semakin jauh, sehingga ini sekaligus menyimpang dari sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Kita tentu tidak boleh buru-buru menjawabnya. Sebelum melihat apakah cita-ekonomi Pancasila sebagaimana terkandung dalam sila kelima itu sudah tersimpangkan atau belum, kita harus melihat substansi cita-ekonomi Pancasila (das Sollen) dan membandingkannya dengan kenyataan lapangan (das Sein).
Resultante Tiga Pemikiran
Biasanya, para peminat kajian Ekonomi Pancasila akan merujuk pada buku Ekonomi Pancasila (LP3ES, 1981) Mubyarto, yang menguraikan lima ciri utama ekonomi Pancasila, salah satunya adalah mengutamakan suruhan moral dalam praktik perekonomian. Tidak seperti ekonomi kapitalis yang mengutamakan keserakahan ataupun ekonomi komando yang menindas inisiatif individu. Namun, pemikiran Mubyarto itu hanyalah resultante dari pemikiran tiga tokoh ekonomi besar peletak cita-ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius (Mizan, 2011, hal. 73-74), Dawam Rahardjo menguraikan bahwa kebijaksanaan pembangunan Indonesia dipengaruhi oleh pengalaman dan pemikiran tiga ekonom terkemuka. Pertama, Mohammad Hatta dengan
gagasannya mengenai koperasi serta transformasi perekonomian, yaitu transformasi dari perekonomian kolonial yang berorientasi kepada pasar tradisional menjadi perekonomian nasional yang mandiri berbasis perekonomian domestik.Â
Kedua, Soemitro Djojohadikoesoemo yang berorientasi pada nasionalisasi perekonomian dan industrialisasi yang digerakkan oleh perusahaan negara dan pengusaha pribumi. Ketiga, Sjafruddin Prawiranegara dengan idenya yang berorientasi pada pandangan monetaris, yaitu bahwa industrialisasi harus didasarkan pada stabilitas moneter dan pembangunan pertanian, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun untuk menghasilkan devisa.
Sjafruddin kemudian lebih banyak membahas faktor-faktor nonekonomi, khususnya agama dalam proses pembangunan. Ia melanjutkan pemikiran Bung Hatta dan HOS Tjokroaminoto bahwa corak ekonomi Indonesia sesuai Pancasila adalah sosialisme-religius, bukan sosialisme komunis yang menafikan eksistensi Tuhan. Pemikiran semacam inilah yang kemudian ditransmisikan ke dalam pemikiran Mubyarto.
Jika kita ringkaskan, cita-ekonomi Pancasila dari tiga ekonom besar Indonesia itu adalah: kemandirian ekonomi, pentingnya peranan badan usaha milik negara (BUMN), stabilitas moneter (kebijakan moneter), penciptaan iklim investasi yang baik, dan eksploitasi
sumber daya alam secara bertanggung jawab dan lestari (sustainable). Investasi asing sangat dianjurkan, tetapi utang sebisa mungkin dihindari.
Berbekal cita-ekonomi Pancasila di atas itulah, kita bisa mencoba menjawab pertanyaan soal potensi pengkhianatan sila kelima di Indonesia. Pertama, jumlah utang yang besar jangan sekadar didalilkan sebagai "dalam batas aman" sesuai standar internasional rasio utang terhadap PDB, melainkan lebih sebagai sesuatu yang seyogianya diminimalkan.
Apalagi, kajian terhadap sejarah krisis di Indonesia sudah membuktikan penumpukan utang luar negeri jangka pendek plus pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah salah satu biang keladi krisis ekonomi 1997 (Arifin dkk, IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional, Elex Media, 2007, hal. 169). Artinya, pemerintah seharusnya lebih menggiatkan upaya mengundang investasi asing ketimbang utang. Caranya tentu dengan memperbaiki iklim investasi, seperti faktor-faktor terkait lama perizinan, kepastian hukum, kebijakan perpajakan, dan lain sebagainya.