Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Islam dan Filsafat Ekonomi, Seperti Apa Sih?

31 Januari 2025   09:29 Diperbarui: 31 Januari 2025   10:59 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto pemikir Islam asal Iran, Ali Syari'ati (Sumber: lsfdiscourse.org)

Selama ini, banyak orang mengidentikkan mentalitas kapitalisme dengan nilai-nilai Protestan, apalagi sejak sosiolog Jerman Max Weber menulis buku masyhurnya Protestant Ethics and Capitalism. Berbeda 180 derajat, Islam justru dipandang sebagai agama yang
antikapitalisme. Benarkah demikian?

Kapitalisme biasanya dicirikan dengan pemilikan perorangan atas alat-alat produksi, kebebasan berusaha, pengejaran laba sebagai motif utama dalam kegiatan ekonomi, produksi untuk pasar, ekonomi uang, mekanisme persaingan, dan rasionalitas dalam perilaku usaha. Pendeknya, saripati kapitalisme adalah rasionalitas. Sebab, dengan rasio itulah manusia melakukan kalkulasi untung-rugi. Konsekuensi lanjutnya, kapitalisme mengutamakan aspek pertumbuhan, mendewakan pasar bebas dan, karenanya, mengecilkan peranan negara dalam perekonomian.

Pada titik ini, ungkap Max Rodinson dalam Islam and Capitalism (1977), Islam tidak bertentangan dengan kapitalisme. Bahkan, Alquran mengagungkan rasio sebagai sendi kapitalisme. Tak kurang kata rasio (aqala) disebut sekitar 50 kali dalam Alquran. Juga, kalimat "apakah kalian tidak berpikir" diulang 13 kali. Sejumlah hadis pun memberikan keutamaan pada profesi perdagangan yang identik dengan kapitalisme. Sebagai contoh, ada hadis "pedagang jujur akan duduk berdampingan dengan para nabi, pahlawan, dan orang-orang adil di hari kiamat."

Artinya, Alquran dan Islam memuji orang yang memperkaya diri agar bisa membantu orang lain. Disertasi M. Luthfi Malik di jurusan Sosiologi Universitas Indonesia (dibukukan sebagai Etos Kerja, Pasar, dan Masjid, LP3ES, 2013) menguatkan hal tersebut. Dalam studinya itu, Luthfi Malik merumuskan kerangka teoretis bahwa Islam justru memandang aktivitas ekonomi sebagai bagian integral dari ajaran agama. Bahkan, pencapaian kekayaan dianggap penting karena hartanya itu nanti bisa digunakan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan sesama manusia, seperti dengan membangun masjid, membantu orang miskin, menunaikan ibadah haji, dan lain sebagainya.

Namun di sisi lain, filsuf Pakistan Sir Muhammad Iqbal pernah mengatakan bahwa "sosialisme plus Tuhan adalah Islam" (Iqbal dan Sosialisme, Pantja Simpati, 1992). Memang, Islam menganut pandangan egalitarian bahwa semua orang sama di mata Allah. Oleh karena itu, umat manusia harus melepaskan segala belenggu yang memperbudak dirinya, termasuk belenggu kemiskinan ekonomi. Tugas umat Islam, jadinya, adalah membongkar segala bangunan infrastruktur ekonomi dan suprastruktur ideologi yang menghambat realisasi masyarakat egaliter tersebut. Di sini, Islam lebih bercorak sosialistis.

Sosialisme Religius 

Pertanyaannya sekarang, beranjak dari polemik teoretis di atas, Islam lebih condong ke mana? Menurut hemat penulis, ada satu konsep yang patut dielaborasi lebih jauh apabila kita berbicara tentang Islam: konsep ummah atau umat.

Berdasarkan konsep umat, manusia memang dibenarkan memiliki ikhtiar pribadi untuk memajukan kepentingan dirinya sendiri. Asalkan, itu semua dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas (umat). Jadi, manusia melakukan usaha individualnya bukan dengan mengandalkan pada mekanisme tangan tak kelihatan (invinsible hand) yang diyakini akan membereskan masalah kesejahteraan secara otomatis. Sebaliknya, manusia melakukan itu dengan sadar untuk membantu sesama warga. Ini selaras dengan pendapat Haikal dalam Al- Hukumatul Islamiyah (Pemerintahan Islam) bahwa Islam adalah sosialisme positif yang tidak
mengabaikan kepemilikan pribadi.

Kendati demikian, memang di dalam ummah selalu ada pihak-pihak rakus yang ingin mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Lewat perumpamaan memikat, sosiolog Iran Marxian, Ali Syariati dalam Tentang Sosiologi Islam (1990) mendeskripsikan anasir-anasir jahat itu sebagai kekuasaan korup (diibaratkan sebagai Firaun), agama candu (Balaam), dan kaum kapitalis pemupuk laba (Qarun). Dengan kata lain, memang di dalam ummah sendiri terdapat kelas penindas yang menindas kelas tertindas (mustadhafin).

Nah, mengingat konflik kelas adalah ciri tak terpisahkan dari sosialisme, itu berarti Islam lebih condong kepada sosialisme. Hanya saja, sosialisme Islam dengan konsep ummah jelas berbeda dengan sosialisme Barat. Islam hanya mengamini sosialisme yang bertujuan menciptakan kondisi sosial-ekonomi yang mengembangkan potensi pribadi manusia. Sosialisme Islam, karena itu, merupakan sosialisme kritis yang memberikan kritik mendasar terhadap semua pola pembangunan yang memasung individualitas manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun