Pada 2025 ini, perekonomian Indonesia masih menghadapi tantangan berat. Sebagai contoh, sejumlah perusahaan startup digital mulai melakukan PHK terhadap banyak karyawan mereka. Paling terbaru adalah Bukalapak (BUKA) yang mengumumkan akan memberhentikan sejumlah karyawan seiring kebijakan emiten e-commerce ini menutup penjualan produk fisik dan fokus pada penjualan produk digital. Belum lagi kenyataan bahwa harga bahan pokok di Indonesia saat ini sedang merangkak naik.
Karena itu, kita harus mewaspadai jangan sampai insiden-insiden ekonomi ini bergulir membesar hingga mencetuskan krisis. Semua stakeholders ekonomi kita harus bertekad memberikan kontribusinya.  Perbankan syariah adalah salah satu aktor yang kemudian bisa memainkan peran strategis mencegah krisis.
Sebelumnya, kita perlu melihat dulu potensi krisis di Indonesia berdasarkan teori lingkaran setan krisis ekonomi Paul Krugman (Return of Depression Economics, Penguin, 1999).  Teori ini memaparkan ada tiga faktor yang saling berkelindan membentuk krisis: hilangnya kepercayaan (loss of confidence); terjun bebasnya indikator-indikator makro ekonomi (plunging macro-economic indicators); dan masalah keuangan yang dialami bank, perusahaan, rumahtangga, dan lain sebagainya (financial problems for households, banks, companies, and others). Krisis bisa berawal dari salah satu faktor di atas untuk kemudian merembet ke dua faktor lainnya dan menciptakan krisis.
Ambil contoh krisis ekonomi Indonesia 1997. Krisis matauang yang menghantam kala itu membuat bank-bank kelabakan karena kredit macet membengkak ditambah kewajiban yang meningkat akibat melemahnya rupiah (lihat Melintasi 3 Krisis Multidimensi, Penerbit Kontan, 2021). Bank pun terjebak dalam kesulitan likuiditas. Di sini, terjun bebasnya indikator makro ekonomi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyebabkan masalah keuangan bagi bank. Pada gilirannya, masalah keuangan ini membuat masyarakat hilang kepercayaan terhadap perekonomian, yang mewujud dalam bentuk penarikan uang tunai besar-besaran dari bank (bank
rush). Hal ini membuat bank makin terkapar, sementara harga-harga meningkat akibat pelemahan nilai tukar, sehingga siklus krisis lengkaplah sudah pada zaman itu.
Menggunakan teori Krugman, salah satu faktor berisiko tinggi di Indonesia saat ini adalah terjadinya masalah keuangan di tingkat rumahtangga dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UKM). Pasalnya, fenomena PHK massal dan juga kenaikan harga bahan pokok masih menghantui masyarakat. Juga, kenaikan harga bahan pokok menyulitkan UMKM untuk melakukan kenaikan harga di tengah
melemahnya daya beli masyarakat. Sementara jika kenaikan harga tidak dilakukan, UMKM akan kelimpungan mempertahankan usahanya.
Kalau potensi krisis keuangan rumahtangga dan UMKM ini tidak dimitigasi, permasalahan akan terjadi sehingga bisa memengaruhi dua faktor krisis lain berupa terjun bebasnya indikator makro ekonomi (seperti meningkatnya angka kemiskinan) serta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah mengatasi masalah ekonomi secara umum.
Pada titik inilah, bank syariah menjadi institusi yang bisa memainkan peranan signifikan mengatasi krisis keuangan UKM dan rumahtangga. Berbeda dengan bank konvensional, bank syariah memiliki satu instrumen perbankan bernama pinjaman kebajikan (qardh al hasan), yaitu pinjaman yang biasanya diberikan tanpa agunan dan dikucurkan kepada kaum lemah yang
melakukan usaha produktif.
Dalam pinjaman kebajikan, bank Syariah dilarang meminta kelebihan pengembalian dan/atau hasil atas uang yang dipinjamkan. Paling, bank Syariah hanya berhak mengenakan biaya riil atas proses pinjam meminjam tersebut (Ahmad Ifham, Membongkar Rahasia Bank Syariah, Gramedia, 2016). Artinya, UMKM memiliki kesempatan untuk mendapatkan akses kredit sangat murah
asalkan bank syariah menyediakan pinjaman seperti itu sesuai dengan khittah-nya. Sudah saatnya bank syariah meningkatkan porsi pinjaman kebajikan mengingat selama ini portofolio kredit perbankan syariah Indonesia lebih banyak didominasi produk berskema murabahah yang justru menghilangkan proses berbagi risiko antara kreditor dan debitor (Faizi, Arah Baru Ekonomi dan
Keuangan Syariah, Harakatuna, 2021).
Murabahah adalah skema di mana bank membelikan terlebih dulu produk yang dibutuhkan debitor dan menjualnya kembali dengan margin keuntungan kepada debitor, yang lalu membayar harga plus margin itu secara mencicil. Dari skema ini, jelas terlihat risiko bank sangatlah minim karena sudah terlebih dulu mendapatkan margin. Tak tanggung-tanggung, data menunjukkan per April 2021 produk murabahah mewakili 46,4% pembiayaan perbankan Syariah nasional, sementara pinjaman kebajikan hanya 8,6% (Wahyudin Rahman, "Akad Murabahah dan Akad Lainnya dalam Transaksi Perbankan Syariah", mediaasuransinews.co.id)