Mohon tunggu...
SEPTA VIDYA
SEPTA VIDYA Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta

Saya seorang Ibu Bekerja dengan Satu anak, yang sedang dalam perjalanan untuk menggapai cita-citanya.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Ngopi Bareng: Secangkir Kopi, Sejuta Cerita

4 Agustus 2025   18:05 Diperbarui: 4 Agustus 2025   18:05 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Bayangkan malam yang sejuk di pinggir jalan. Aroma kopi tubruk terhirup dari cangkir seng di warung kopi sederhana, ditemani suara tawa teman dan cerita yang mengalir tanpa henti. Atau mungkin kamu sedang di kafe kekinian, menyeruput cappuccino dengan latte art bunga, sambil mendiskusikan rencana bisnis dengan sahabat. Di Indonesia, "ngopi bareng" bukan sekadar minum kopi, it's a vibe, sebuah tradisi yang menyatukan hati, dari warung kopi di kampung hingga kedai modern di kota besar. Di Aceh, tradisi ini bahkan punya nama sendiri yaitu meukatob, sebuah ritual sosial yang kental dengan budaya dan sejarah. Apa yang membuat "ngopi bareng" begitu istimewa? Yuk, kita jelajahi lebih dalam pesona tradisi ini, dari akar sejarahnya hingga makna di era modern!

Asal-Usul Tradisi Ngopi Bareng

Kopi masuk ke Indonesia pada abad ke-17, dibawa oleh Belanda ke Batavia, lalu menyebar ke Bogor, Sukabumi, dan berbagai wilayah lainnya, termasuk Aceh. Di Aceh, kopi Gayo mulai ditanam di dataran tinggi Takengon sejak abad ke-19, menjadi salah satu komoditas unggulan. Warung kopi, atau yang di Aceh disebut "kedai kupi", muncul sebagai pusat interaksi sosial. Petani, pedagang, dan ulama berkumpul di sini, mendiskusikan panen, agama, hingga perjuangan melawan penjajah. Tradisi meukatob, ngobrol santai sambil minum kopi ini menjadi ciri khas Aceh, sering kali diiringi kopi saring (kopi ulee kareng) yang disajikan dalam cangkir kecil atau gelas sloki.

Hampir di seluruh Indonesia, warung kopi awalnya adalah tempat sederhana dengan bangku kayu dan kopi tubruk yang diseduh di dapur kecil. Menurut data Kementerian Pertanian, Indonesia kini menjadi produsen kopi terbesar keempat di dunia, dengan produksi 789.000 ton per tahun, termasuk 150.000 ton arabika dimana sebagian besar dari Aceh, seperti kopi Gayo yang terkenal dengan aroma gula merah dan citrus. Konsumsi kopi domestik juga melonjak, mencapai 4,8 juta kantong (setara 288.000 ton) pada 2024/2025, didorong oleh maraknya kedai kopi dan gaya hidup urban.

Survei GoodStats 2024 mengungkapkan bahwa 40% masyarakat Indonesia minum dua gelas kopi per hari, dengan 66% lebih suka membeli di kedai atau warung ketimbang menyeduh sendiri. Di Aceh, tradisi kopi ulee kareng tetap hidup. Kopi ini diseduh dengan metode saring tradisional, yang menghasilkan cita rasa pekat yang disukai warga lokal. "Kopi di kedai kupi itu bukan cuma minuman, tapi cara kami menjaga silaturahmi," kata Khalil, pemilik Warung Kopi Solong di Banda Aceh, dalam wawancara dengan media lokal. Tradisi ini menunjukkan bahwa "ngopi bareng' sudah mengakar kuat, baik di Aceh maupun di seluruh Indonesia.

 

Makna Sosial dan Budaya Ngopi Bareng

"Ngopi bareng" adalah lebih dari sekadar minum kopi, ini tentang membangun ikatan. Di warung kopi atau kafe, batas sosial seolah melebur. Tukang ojek, pekerja kantoran, hingga mahasiswa duduk bersama, berbagi cerita tentang hidup, cinta, atau sekadar lelucon ringan. Ini mencerminkan nilai gotong royong dan kebersamaan yang khas Indonesia. Di Aceh, "kedai kupi" adalah "parlemen rakyat" versi lokal. Di Takengon, petani kopi berkumpul untuk merencanakan panen atau mendiskusikan harga kopi, sementara di Banda Aceh, kedai seperti Cut Meutia jadi tempat diskusi adat dan agama. "Di kedai kupi, semua orang sama. Kami bicara dari hati ke hati," ujar Zulkifli, seorang pengunjung rutin di kedai kupi di Lhokseumawe.

Selama konflik Aceh, "kedai kupi" bahkan menjadi ruang netral untuk berdamai. Tokoh masyarakat dan mantan pejuang sering bertemu di sini, menyeruput kopi saring sambil mencari solusi damai. Tradisi meukatob ini memperkuat peran kopi sebagai perekat sosial. Di luar Aceh, warung kopi di desa-desa Jawa atau Sulawesi pun punya fungsi serupa yaitu sebagai tempat warga mendiskusikan urusan kampung, dari pembangunan masjid hingga rencana hajatan.

Di kota besar, "ngopi bareng" bertransformasi menjadi gaya hidup urban. Kafe seperti Kopi Kenangan, Janji Jiwa, Tuku atau Starbucks menjadi tempat anak muda brainstorming ide bisnis, mengerjakan tugas kuliah, atau sekadar "nongkrong". Survei GoodStats menemukan bahwa 40% responden memilih Kopi Kenangan sebagai kedai favorit, diikuti Fore (33%) dan Starbucks (30%), dengan Wi-Fi dan colokan listrik jadi daya tarik utama. Di Aceh, kedai modern seperti Black Cup Coffee yang menggabungkan kopi Gayo dengan penyajian kekinian seperti espresso atau cold brew, menarik generasi muda tanpa menghilangkan nuansa lokal.

Tradisi ini juga lintas generasi. Bagi orang tua, kopi tubruk di warung membawa nostalgia masa kecil. Tetapi bagi Gen Z, latte di kafe adalah simbol gaya hidup. Survei JakPat 2024 menunjukkan 31% Gen Z minum kopi 1-2 kali seminggu, dengan 33% lebih suka ngopi malam hari antara pukul 18.00-21.00. Kopi instan (57%) dan kopi kafe (35%) jadi favorit, termasuk di Aceh, di mana kopi Gayo kini disajikan dalam berbagai bentuk, dari tradisional hingga modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun