Mempertahankan Kelangsungan Pernikahan Janda-Duda
Saya mendengar informasi, rekan istri terpaksa pisah ranjang atau tidak bersama lagi dengan suami yang sudah menikahinya selama kurang lebih 10 tahun.
Rekan istri itu adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya. Sedangkan suaminya yang sekarang adalah seorang duda yang ditinggal mati juga oleh istrinya. Cocoklah, janda cerai mati menikah duda cerai mati, dan melakukan nikah pemberkatan di gereja sehingga ada statement "mereka telah disatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan manusia" yang artinya tidak boleh ada perceraian dalam pernikahan mereka.
Tetapi pada kenyataannya, mereka sekarang hidup sendiri-sendiri, tidak serumah dan tentunya tidak ada kebersamaan lagi. Berbagai alasan disampaikan dari pihak masing-masing yang tentunya kedua belah pihak tidak mau disalahkan.
Beberapa hari yang lalu saya mendengar langsung dari warga gereja yang saya teguhkan dan catat pernikahannya saat ini juga tidak lagi hidup berdua.
Warga gereja kami itu adalah seorang duda cerai mati menikah dengan wanita lain daerah dengan status janda cerai hidup.
Pada saat mereka akan menikah sudah kami beri pelajaran dan ujian bahwa pernikahan mereka dalam keadaan apa pun tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Mereka tidak boleh bercerai, meski pernikahan mereka terjadi antara janda dan duda.Â
Pada waktu itu, mereka berdua menyatakan komitmen mereka bahwa mereka akan hidup bersama sampai tua dan maut menjemput mereka. Tetapi belum juga 2 tahun pernikahan mereka, mereka sudah hidup sendiri-sendiri.
Menurut cerita, ibu tersebut memiliki anak yang kurang harmonis rumah tangganya.
Anak dari ibu ini bekerja sementara kedua orang cucunya tidak ada yang merawat, sementara menantunya karena ada masalah keluarga kembali ke rumah orang tuanya.
Ibu tersebut akhirnya kembali ke daerahnya untuk membantu kehidupan anak putrinya.
Letak Kesulitannya
Menurut pendapat saya, pernikahan yang ideal itu pernikahan yang terjadi pada dua orang berlainan jenis yang tentunya saling mencintai dan berstatuskan jejaka dan perawan. Mengapa demikian?
Kedua orang yang berstatuskan jejaka dan perawan ini tidak memiliki latar belakang yang rumit. Memang sebagai dua orang pribadi, mereka tetap memiliki latar belakang yang berbeda baik dari segi pendidikan, kebiasaan, suku dan lain-lain.
Tetapi mereka tidak memiliki persoalan dengan anak bawaan, aset kepemilikan, masa lalu kehidupan pasangan yang rumit dan lain-lain. Selama saya melayani pernikahan orang yang berstatuskan jejaka dan perawan tidak pernah menjumpai hal-hal yang rumit terkait dengan latar belakang mereka.
Lain memang dengan pernikahan pasangan yang memilki status janda atau duda cerai mati maupun cerai hidup. Rata-rata janda atau duda yang saling menikah, mereka masing-masing memiliki anak dengan kepribadian yang berbeda-beda.
Selain itu juga hal-hal yang terkait dengan pekerjaan yang terlanjur dilakukan di luar kota, aset kepemilikan keluarga semula berupa rumah, tanah dan lain-lain.
Hal-hal semacam itu perlu dibicarakan detail lebih dahulu sebelum pernikahan janda-duda itu dilaksanakan. Sebaiknya pernikahan seperti itu dilaksanakan tidak tergesa-gesa karena perlu dibahas efek samping dan efek depan-belakang yang kemungkinan terjadi setelah pernikahan mereka.
Misal soal domisili. Setekah mereka menikah, dimanakah mereka akan berdomisili? Apakah akan tinggal di rumah pihak janda atau duda? Atau masing-masing bekerja di kota yang berbeda, bagaimana keputusan mereka, apakah ada salah satu yang mutasi, resign dari pekerjaannya atau tetap bertahan bekerja di kota semula.
Domisili Satu Lokasi
Sangat ideal kalau setelah pernikahan pasangan yang berasal dari status janda-duda kemudian memiliki memiliki domisili yang sama. Di sinilah perlunya pengertian dan pengorbanan salah satu pihak.
Di sinilah juga letak arti cinta yang sesungguhnya. Cinta itu antara lain wujudnya adalah mengutamakan yang lain, bukan mementingkan diri sendiri.
Bukan hal yang mudah memang seseorang yang sudah hidup dan bekerja bertahun-tahun di kota kelahirannya misalnya, tiba-tiba karena pernikahannya itu harus meninggalkan kampung halamannya tersebut.
Karena berbagai macam pertimbangan, mungkin saja tidak ada yang mutasi atau resign dari pekerjaannya, bahkan tidak ada yang bersedia untuk meninggalkan kota kelahirannya untuk bersatu tinggal dengan pasangannya dalam satu lokasi domisili.
Jika itu merupakan keputusan yang terbaik, mungkin tidak menjadi masalah. Tetapi toh tetap harus memiliki komitmen, suatu ketika nanti harus selalu hidup bersama dalam satu domisili. Mungkin nanti saat mereka pensiun dari pekerjaan masing-masing hal itu harus mereka lakukan.
Disdukcapil memberi kelonggaran masing-masing membuat kartu KK di kota yang berbeda, tetapi status baik di KK maupun KTP harus menunjukkan bahwa mereka memiliki status kawin. Idealnya memang baik KK maupun maupun domisili mereka sama di satu tempat di sebuah kota atau Kabupaten tertentu.
Inilah yang aneh terjadi pada keluarga warga kami yang pihak istri kembali ke rumah daerah asal untuk membantu kehidupan keluarga putrinya sehingga beberapa saat meninggalkan suaminya yang belum 2 tahun dinikahinya itu.
Si istri, menurut keterangan suami, tidak mau pindah domisili. Alamat di KTP masih alamat domisili sebelumnya. Demikian juga KK dia masih menjadi kepala keluarga.
Singkatnya, istri tidak mau mengurus pergantian KTP dan KK termasuk statusnya. Dia masih berstatus: janda cerai hidup.
"Mengapa dia tidak mau ganti status di KTP maupun KK-nya?" tanya saya.
"Dia tidak mau ribet. Katanya kalau saya mati duluan, nanti harus ngurus perubahan KK dan KTP lagi," demikian ujar suami yang memang berjarak sekitar 10 tahun lebih tua dari istrinya itu.
Jadinya sang suami tersebut memiliki akte nikah yang menyatakan menikah dengan si anu, tetapi di KK walau tertulis statusnya menikah tetapi tidak tertulis menikah dengan siapa.
Sementara sang istri, kemana-mana masih membawa KTP yang statusnya sebagai janda cerai hidup. Waduh!
Hakekat Perkawinan
Menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan adalah bersatunya baik lahir maupun batin pasangan yang berbeda jenis kelamin untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia, harmonis dan sejahtera.
Seringkali saya jelaskan kepada pasangan yang akan menikah bahwa bahagia adalah keadaan yang menyenangkan, sehingga orang menikah itu untuk mencapai kesenangan bersama-sama, bukan supaya sengsara.
Harmonis adalah menunjuk rumah tangga yang selaras, memiliki kesamaan dalam bertindak maupun cita-cita sehingga tidak ada perselisihan di antara mereka.
Sejahtera adalah suatu keadaan dimana kebutuhan baik jasmani maupun rohani tercukupkan.
Oleh karena itu pasangan itu harus mengusahakan dengan bekerja keras dan melakukan upaya-upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai rumah tangga yang bahagia, harmonis dan sejahtera.
Kondisi rumah tangga yang bahagia, harmonis dan sejahtera itu bukan hanya milik pasangan rumah tangga yang dibangun dengan start status sebagai jejaka dan perawan saja, tetapi juga pasangan dari status semula janda-duda.
Memang pasangan dari janda-duda ini melihat berbagai latar belakang kehidupan masing-masing sebelumnya, bukan perkara mudah untuk mewujudkannya.
Tetapi untuk menuju kebaikan, bukankah selalu ada peluang dari Sang Pencipta kehidupan yang selalu dibukakan. Tinggal bagaimana manusianya dalam mengusahakannya?
Harusnya manusia mengusahakan dengan sekuat tenaga dengan dilandasi iman dan doa-doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Oleh: Suyito Basuki
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI