Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di mana Lelaki Pengayun Kapak Itu

19 Desember 2021   05:07 Diperbarui: 19 Desember 2021   07:24 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dpmg.bandaacehkota.go.id

Di mana Lelaki Pengayun Kapak itu

Oleh: Suyito Basuki

Kami membicarakan orang yang tidak waras.  Sebenarnya dikatakan begitu, mungkin keterlaluan.  Tetapi perilaku Herdi akhir-akhir ini nyaris tak ubah dengan perilaku orang yang memiliki pikiran yang gila.  Kalau minggu-minggu lalu, dia hanya duduk tercenung, sambil terkadang bicara sendiri, sekarang lebih tragis.  Kalau dia lihat orang di jalan, dia lalu berceloteh sambil menantang-nantang orang itu untuk diajak berkelahi.  Hartono, tetangganya sebelahnya malah diancam akan dibelah-belah tubuhnya hingga muncrat-muncrat darahnya.   Hartono, tetangga yang baik hati, tentu saja miris hatinya.  Dari pada ramai dengan tetangga, Hartono lebih memilih pergi ke dalam rumah, sambil menahan hati yang gemuruh.

Biasanya kalau saya lagi lewat di depan rumahnya, saya sapa, dia diam saja.  Melihat sepintas kemudian matanya kembali ke arah yang tidak jelas, menerawang entah ke mana.   Namun heran, ketika suatu kali saya ke rumah Hartono, untuk keperluan meninjau warga jemaat yang tengah sakit, kebetulan Herdi duduk di kursi bambu depan yang difungsikan untuk juga tidur pada waktu malam dan siang,  dia tiba-tiba berkata dengan nada menantang.  Tiba-tiba saya jengah, saya masuk ke teras rumah Hartono sambil membawa pikiran yang berkecamuk.

Duduk di depan saya Pak Kamituwo Sarni yang sudah tua.  Usianya sekitar 80 tahun.  Meski usia sudah senja, namun jika pergi ke kantor kelurahan atau menarik pajak warga, keliling kampung hanya bersepeda saja.  Pernah menderita sakit jantung, dirawat beberapa hari di rumah sakit, setelah sembuh, justru semakin semangat bersepeda.  Dengan suaranya yang pelan penuh wibawa mulai mengajukan pendapat-pendapatnya mengenai Herdi.  Saya, Hartono, kedua om dari Herdi: Priyo dan Mardi mencoba menangkap maksud pembicaraannya.

"Herdi sudah kelewat batas ucapan-ucapannya dan tindakannya mulai berbahaya.  Sekarang orang tidak berani lagi lewat di gang kita," ujarnya yang memiliki rumah berhadap-hadapan dengan Herdi.  "Setiap ada orang lewat, dia selalu menantang orang itu untuk berkelahi.  Kalau ada orang ngobrol, dia marah, dikira membicarakannya.  Bahkan wanita tetangganya yang menyapu halaman rumahnya sendiri saja, kena semprot olehnya."

"Ya, apalagi akhir-akhir ini dia sering mengasah kapaknya.  Makanya saya miris mendengar ancamannya.  Jangan-jangan yang diucapkannya memang benar," kata Hartono.  Hartono pensiunan pegawai perkebunan dan kehutanan, saya kenal sebagai orang yang keras.  Meski selalu baik dengan saya, karena barangkali saya adalah pendetanya, dia biasanya tidak pernah takut berhadapan dengan orang lain.  Pembicaraannya selalu tidak mau dikalahkan.  Tetapi menghadapi Herdi ini kelihatannya dia giris.  Ya siapa tidak bergidik mendengar omongan orang gila yang mengancam akan membelah dan memotong tubuh korbannya?  Toh hukum selama ini selalu tidak bisa menyentuh perilaku orang-orang yang tidak waras, walau perbuatannya merugikan orang lain.

"Kemarin ketika aku menjenguknya, tiba-tiba dia menyongsongku sambil membawa kapaknya, sambil berkata 'Kau mau cari mati ya'..." Priyo ikut berbicara sambil menghela napasnya.  Pria dengan kulit legam dengan kulit muka bercak-bercak yang pernah kerja sebagai tukang ukir di Jakarta itu, sekarang seringkali mencari ikan di laut.  Berhari-hari tidur di bagang di tengah laut.  Kadang-kadang juga jika ada orang membutuhkan jasanya, dia akan menyopir truk untuk mengangkut kayu jati atau meubel-meubel ke luar kota. Angin laut dan udara hutan tidak saja membuat mukanya keras, tetapi juga ucapan dan tindakannya kadang bagai batu.

"Bocah edan itu," demikian Priyo menceritakan keponakannya itu,"Tiba-tiba saja mengayunkan kapaknya ke arahku.  Untung aku masih punya kesadaran.  Langsung saja tangan kiriku menangkap tangan bocah pengayun kapak itu.  Sementara secara reflek, tangan kananku memegang lehernya dan memelintirnya dari belakang.  Kaki kirinya kutendang saja dengan kaki kananku.  Langsung dia terjerembab, mengaduh-aduh dan menangis.  Sementara kapak tajam itu, terlempar kira-kira sejengkal dari tubuhnya," cerita Priyo sembari menghisap rokok putihnya.  Asap rokok keluar dari mulutnya, menggulung di udara, menggumpal, seolah menunjukkan hati Priyo yang penuh kebanggaan.

"Dia tidak segera bangkit dan menyerang lagi?" Saya setengah penasaran bertanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun