Pendidikan Islami seringkali terkesan kaku atau individualistis. Namun, bayangkan jika pendidikan Islami itu seperti sebuah super team yang solid dan keren! Sebuah tim yang anggotanya adalah Keluarga, Sekolah/Madrasah, dan Lingkungan Sekitar (baik nyata maupun maya). Konsep tim ini bukan sekadar kiasan, tetapi sebuah pendekatan yang memberdayakan, mengubah persepsi dari beban menjadi sebuah perjalanan kolaboratif yang relevan bagi generasi muda saat ini. Tujuannya jelas: membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki pondasi iman yang kokoh, berakhlak mulia seperti yang dicontohkan Al-Qur'an, dan siap menghadapi tantangan zaman now yang serba terhubung.
Dalam tim super ini, setiap anggota punya peran vital.Â
- Keluarga menjadi basecamp pertama, tempat nilai-nilai dasar ditanamkan dan cinta kasih dipupuk.Â
- Sekolah atau Madrasah berfungsi sebagai pusat upgrade skill dan ilmu, tempat potensi diasah dan wawasan diperluas.Â
- Sementara itu, Lingkungan Sekitar---termasuk pergaulan teman sebaya, organisasi, hingga ruang digital yang kini tak terpisahkan dari kehidupan remaja---menjadi arena aksi nyata dan tempat menjaga vibe positif.
Kunci keberhasilan tim ini terletak pada kekompakan dan sinergi antar anggotanya. Upaya yang terisolasi dari satu pilar saja tidak akan cukup; diperlukan sebuah pendekatan sistemik dan kolaborasi aktif.
Strategi terbaik untuk tim ini tentu datang dari Sang Pendidik Agung, Nabi Muhammad SAW. Al-Qur'an, khususnya dalam Surat Al-Jumu'ah ayat 2, mengabadikan misi pendidikan beliau yang fundamental. Setidaknya ada tiga pilar metode kenabian yang menjadi panduan abadi:Â
- membacakan ayat-ayat Allah (Tilawah),Â
- menyucikan jiwa (Tazkiyah), danÂ
- mengajarkan Al-Kitab (Al-Qur'an) serta Al-Hikmah (kebijaksanaan/As-Sunnah) (Ta'lim).
Untuk benar-benar memberdayakan generasi muda Indonesia menjadi "Generasi Keren Berakhlak Qur'ani", semangat "GASKEUN!"---sebuah dorongan untuk bergerak cepat dan penuh semangat---perlu digelorakan dalam mewujudkan sinergi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sinergi ini harus dipandu oleh metode kenabian yang tak lekang oleh waktu, sambil terus beradaptasi secara kreatif dengan realitas era digital yang dihadapi generasi muda. Mengakui peran sentral lingkungan digital sejak awal adalah krusial, karena generasi muda saat ini hidup dan berinteraksi secara signifikan di dalamnya. Ini memungkinkan pembahasan tantangan seperti hoaks dan peluang seperti pembelajaran digital menjadi bagian integral dari strategi pendidikan.
Tiga Pilar Kunci: Kompak Bikin Generasi Muda Makin Mantap!
Keberhasilan membentuk generasi idaman sangat bergantung pada kerjasama harmonis ketiga pilar pendidikan. Masing-masing memiliki peran unik namun saling terkait, dan efektivitas satu pilar sangat dipengaruhi oleh kondisi pilar lainnya.
Keluarga: Basecamp Iman & Akhlak Pertama
Keluarga adalah lingkungan pendidikan pertama dan paling fundamental (ushul) dalam Islam. Di sinilah fondasi karakter, keimanan (aqidah), dan nilai-nilai moral (akhlak) diletakkan. Orang tua, sebagai pendidik pertama dan utama, memiliki tanggung jawab besar untuk menumbuhkan fitrah (potensi dasar kebaikan) anak, menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta membiasakan praktik ibadah dasar sejak dini. Lebih dari sekadar penyedia kebutuhan materi, keluarga adalah madrasah pertama yang mengajarkan kasih sayang (mawaddah wa rahmah), kejujuran, tanggung jawab, dan adab sosial. Keteladanan orang tua dalam perkataan dan perbuatan menjadi kurikulum tak tertulis yang paling efektif. Dalam konteks kekinian, peran keluarga juga mencakup pendampingan anak dalam berinteraksi dengan dunia digital, membangun komunikasi terbuka, dan menciptakan suasana rumah yang kondusif untuk pertumbuhan spiritual di tengah gempuran distraksi gawai. Contoh kebiasaan baik di keluarga seperti shalat berjamaah, mengaji bersama, berdiskusi santai tentang agama, hingga membiasakan adab sehari-hari adalah investasi berharga bagi masa depan anak. Konsep "alam keluarga" Ki Hajar Dewantara yang menekankan pendidikan budi pekerti sangat sejalan dengan pandangan Islam mengenai peran sentral keluarga ini.
Sekolah/Madrasah: Tempat Asah Otak dan Hati
Setelah keluarga, sekolah atau madrasah menjadi lingkungan pendidikan formal kedua yang berperan penting. Institusi ini bertugas mengembangkan potensi intelektual siswa, membekali mereka dengan ilmu pengetahuan---baik ilmu agama maupun ilmu umum yang seharusnya terintegrasi, bukan terpisah---serta melanjutkan pembinaan karakter dan spiritualitas yang telah dimulai di rumah. Sekolah tidak hanya bertujuan mencetak siswa yang pintar secara akademis, tetapi juga individu yang berakhlak mulia, memiliki pemahaman agama yang benar, dan mampu berpikir kritis. Guru memegang peran krusial, tidak hanya sebagai pengajar tetapi juga sebagai pendidik (murabbi) dan teladan (uswah hasanah) yang menginspirasi. Lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren memiliki kekhasan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pendalaman ilmu agama dan pembentukan karakter Islami secara intensif. Di era modern, sekolah perlu beradaptasi, memanfaatkan teknologi untuk pembelajaran yang efektif, namun tetap menjaga fokus pada pembentukan karakter dan spiritualitas siswa. Relevansi konsep "alam perguruan" Ki Hajar Dewantara terlihat jelas dalam fungsi sekolah sebagai tempat mengasah kecerdasan dan ilmu pengetahuan. Kebijakan pendidikan dari pemerintah/negara juga sangat krusial. kebijakan pendidikan yang asal atau sering berganti-ganti yang justru membingungkan juga harus segera diakhiri.
Lingkungan Sekitar (Real & Digital): Arena Aksi & Jaga Vibe Positif
Pilar ketiga adalah lingkungan masyarakat, yang mencakup pergaulan teman sebaya, organisasi kemasyarakatan, kegiatan di masjid atau komunitas, dan yang tak kalah penting, interaksi di dunia maya. Lingkungan ini berfungsi sebagai "laboratorium sosial" tempat ilmu dan akhlak yang dipelajari di rumah dan sekolah diuji dan dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Interaksi sosial, baik secara fisik maupun digital, sangat memengaruhi pembentukan sikap, perilaku, dan pandangan hidup generasi muda. Masyarakat yang Islami, yang menjalankan prinsip amar ma'ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran), akan menciptakan suasana kondusif bagi pertumbuhan karakter positif. Sebaliknya, lingkungan yang permisif terhadap nilai-nilai negatif dapat merusak fondasi yang telah dibangun keluarga dan sekolah. Di era digital, "lingkungan" ini meluas ke ranah online. Interaksi di media sosial, grup chat, forum online, hingga konten yang dikonsumsi secara digital menjadi bagian tak terpisahkan dari proses sosialisasi dan pembentukan identitas remaja. Oleh karena itu, generasi muda perlu dibekali kemampuan untuk memilih lingkungan pergaulan yang positif (baik offline maupun online), menyaring informasi secara kritis (tabayyun), dan memiliki etika digital yang baik. Konsep "alam pemuda" atau masyarakat dari Ki Hajar Dewantara, yang menekankan peran masyarakat dalam mendukung pendidikan budi pekerti dan jiwa sosial, kini harus diperluas maknanya untuk mencakup realitas digital ini. Sinergi ketiga pilar ini harus mampu membimbing generasi muda dalam menavigasi dan bahkan berkontribusi positif dalam lingkungan digital mereka.
Belajar dari Guru Terbaik: Kepo-in Metode Nabi di Surah Al-Jumu'ah
Untuk memastikan super team pendidikan ini berjalan efektif, panduan dari coach terbaik, Nabi Muhammad SAW, menjadi rujukan utama. Surah Al-Jumu'ah ayat 2 secara eksplisit menyebutkan tiga tugas utama Rasulullah SAW sebagai pendidik, yang sarat dengan prinsip pedagogis. Mari kita "kepo-in" lebih dalam ketiga metode ini:
Tilawah (Bacain Ayat): Lebih dari Sekadar Baca, Pahami & Rasakan!
Metode pertama adalah yatlu 'alaihim ayatihi (membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya). Ini bukan sekadar melafalkan teks Al-Qur'an, melainkan sebuah proses engagement---menghadirkan firman Allah dengan cara yang menyentuh hati dan pikiran. Tilawah yang benar mencakup penyampaian makna, menghubungkan ayat-ayat qur'aniyah (yang tertulis) dengan ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta), sehingga pendengar merasakan keagungan Allah dan pesan-Nya menjadi relevan. Bagi generasi muda, ini berarti mengubah rutinitas membaca Al-Qur'an dari sekadar kewajiban menjadi momen refleksi dan koneksi spiritual. Peran guru atau mentor yang mampu membacakan dan menjelaskan ayat dengan cara yang menarik dan kontekstual menjadi sangat penting. Kemampuan guru pun harus di upgrade, bukan sekedar cumlaude, tetapi harus mampu telling story, menginspirasi. Â Ini adalah langkah awal untuk membuka hati terhadap petunjuk Ilahi, membimbing dari kegelapan menuju cahaya.
Tazkiyah (Bersihin Hati): Biar Nggak Cuma Pinter, Tapi Juga Bener & Asik!
Metode kedua adalah wa yuzakkihim (dan menyucikan mereka). Tazkiyatun Nafs atau penyucian jiwa adalah proses membersihkan hati dari berbagai "kotoran" batin---syirik, keyakinan keliru, sifat-sifat tercela seperti sombong, iri, dengki, riya', kikir, dan akhlak buruk lainnya---serta menumbuhkan sifat-sifat mulia. Ini adalah tahap preparasi, memastikan wadah (hati) bersih sebelum diisi dengan ilmu. Hati yang bersih (qolbun salim) adalah kunci kebahagiaan hakiki dan syarat diterimanya amal. Tazkiyah inilah yang membentuk karakter, menjadikan seseorang tidak hanya cerdas (pinter), tapi juga lurus (bener) dan memiliki kepribadian yang menyenangkan (asik) serta berakhlak mulia. Praktik tazkiyah sangat beragam, meliputi:
Ibadah Ritual: Menjaga shalat dengan khusyuk, berdzikir dan berdoa secara rutin, membaca Al-Qur'an dengan tadabbur, berpuasa sunnah.
Muhasabah & Muraqabah: Introspeksi diri, menyadari kesalahan, dan merasa diawasi Allah.
Mujahadah: Berjuang melawan hawa nafsu dan kecenderungan buruk.
Menghindari Sifat Tercela: Menjauhi kesombongan, riya', hasad, ghibah, dan lain-lain.
Menumbuhkan Sifat Terpuji: Melatih ikhlas, sabar, syukur, qana'ah (merasa cukup), tawadhu (rendah hati), jujur, amanah, kasih sayang.
Lingkungan Positif: Mencari teman-teman yang shalih dan menghindari pergaulan buruk.
Keteladanan: Belajar dari guru, orang tua, atau tokoh yang berakhlak mulia.
Proses tazkiyah ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak memisahkan antara pengembangan spiritual dan intelektual. Justru, kesucian hati menjadi fondasi agar ilmu yang dipelajari membawa berkah dan manfaat. Meskipun bersifat internal, keberhasilan tazkiyah sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti keteladanan dan lingkungan yang suportif, yang kembali menekankan pentingnya sinergi Tri Sentra Pendidikan. Sekali lagi peran guru dan orang tua untuk terus belajar metode tazkiyah ini menjadi sangat penting dan sayangnya metode tazkiyah ini sangat jarang diajarkan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, sebagai pabriknya para guru.
Ta'lim (Ngajarin Kitab & Hikmah): Kuasai Qur'an & Sunnah, Jadi Keren dalam Pandangan Allah!
Metode ketiga adalah wa yu'allimuhumul kitaba wal hikmah (dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah). Setelah hati terlibat (Tilawah) dan dibersihkan (Tazkiyah), barulah proses pengisian ilmu (Ta'lim) dapat berjalan optimal. Al-Kitab merujuk pada Al-Qur'an, sementara Al-Hikmah sering ditafsirkan sebagai As-Sunnah (ajaran dan praktik Nabi SAW), pemahaman agama yang mendalam, atau ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Ta'lim adalah proses transfer pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif tentang ajaran Islam---akidah, ibadah, muamalah, akhlak---berdasarkan sumber otentik. Tujuannya bukan sekadar menghafal teori, tetapi menumbuhkan pemahaman mendalam (hikmah) dan kemampuan mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Ini mencakup pengembangan kemampuan berpikir kritis dan analitis dalam kerangka nilai-nilai Islam. Urutan Tilawah, Tazkiyah, baru Ta'lim menyiratkan sebuah model pedagogi holistik: keterlibatan emosional-spiritual dan penyucian karakter adalah prasyarat bagi pembelajaran intelektual yang efektif dan bermakna sehingga menghasilkan pelajar yang mumpuni ilmu, skill, akhlak, dan kaya dengan hikmah sehingga menjadi pelajar yang pandai, berakhlak mulia, dan bijaksana (hikmah).
Menuangkan ilmu ke dalam hati yang belum siap atau masih kotor tidak akan menghasilkan buah yang diharapkan.
Ngaji Zaman Now: Bikin Qur'an Nggak Ngebosenin & Nyambung Banget!
Salah satu tantangan terbesar adalah membuat pembelajaran Al-Qur'an terasa relevan ("nyambung") dan menarik ("nggak ngebosenin") bagi generasi Z dan milenial yang hidup di era digital. Bagaimana caranya?
Hubungkan Qur'an dengan Kehidupanmu: Isu Kekinian, Medsos, Hobi
Al-Qur'an bukanlah kitab usang yang terpisah dari realitas. Ia adalah petunjuk hidup (hudan) yang relevan sepanjang zaman. Kuncinya adalah kemampuan untuk menghubungkan pesan-pesan universal Al-Qur'an dengan konteks kehidupan sehari-hari generasi muda. Bagaimana Al-Qur'an berbicara tentang isu-isu kontemporer seperti keadilan sosial, lingkungan hidup, kesehatan mental, etika bermedia sosial, bullying, atau bahkan quarter-life crisis?. Misalnya, prinsip tabayyun (klarifikasi berita) sangat relevan untuk menangkal hoaks di media sosial. Ajaran tentang menjaga lisan bisa diaplikasikan untuk mencegah cyberbullying. Konsep syukur dan sabar dapat menjadi terapi untuk mengatasi kecemasan (mental health). Menggali relevansi Al-Qur'an dalam hobi, studi, pertemanan, dan tantangan personal akan membuat kitab suci ini terasa "hidup" dan menjadi sumber solusi. Proses tadabbur (merenungkan makna) menjadi sangat penting di sini.
Manfaatin Teknologi, Dong! Aplikasi Qur'an, Konten Kreatif, Belajar Online
Era digital justru menawarkan banyak tools keren untuk belajar Al-Qur'an. Berbagai aplikasi Al-Qur'an digital kini hadir dengan fitur lengkap: terjemahan multi-bahasa, beragam tafsir kredibel, audio murottal dari qari ternama, penanda tajwid berwarna, hingga fitur pencarian ayat yang canggih. Beberapa aplikasi bahkan menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk memberikan koreksi bacaan secara real-time atau menghubungkan pengguna dengan ustadz/ustadzah kompeten secara online. Platform belajar online interaktif, webinar, kanal YouTube, podcast, hingga konten kreatif Islami di TikTok atau Instagram membuat proses belajar menjadi lebih fleksibel, personal, dan menyenangkan. Teknologi memungkinkan Tilawah yang lebih interaktif dan Ta'lim yang lebih mudah diakses kapan saja, di mana saja. Maka sekolah, madrasah, pesantren harus segera berbenah dengan memanfaatkan berbagai media ini sebagai tools pembelajaran dan bukan dijauhi.Â
Waspada Jebakan Digital: Hoax, Etika Online, Jaga Keaslian Ajaran
Namun, kemudahan akses di dunia digital juga membawa risiko. Informasi yang salah, konten ekstremis, atau ajaran menyimpang dapat dengan mudah menyebar. Penting untuk memastikan keaslian sumber belajar, misalnya menggunakan aplikasi Al-Qur'an yang sudah ditashih oleh lembaga kredibel seperti Kementerian Agama. Selain itu, tantangan seperti kecanduan gawai, cyberbullying, penyebaran hoaks, dan lunturnya adab berinteraksi secara online juga perlu diwaspadai. Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi untuk belajar agama harus diimbangi dengan:
Literasi Digital: Kemampuan memilah informasi, mengenali hoaks, dan memahami jejak digital.
Etika Digital Islami: Menerapkan adab komunikasi Islam (jujur, santun, tidak ghibah, tidak menyebar fitnah, menjaga privasi) dalam interaksi online.
Keseimbangan: Mengatur waktu antara aktivitas online dan offline, termasuk ibadah dan interaksi sosial nyata.
Tazkiyah Digital: Menggunakan teknologi secara sadar untuk kebaikan, menghindari konten negatif, dan menjaga niat ikhlas.
Teknologi memang pedang bermata dua. Ia bisa menjadi alat luar biasa untuk Tilawah dan Ta'lim, namun bisa menjadi tantangan serius bagi Tazkiyah jika tidak dikelola dengan bijak dan dilandasi etika yang kuat. Membuat Al-Qur'an relevan bukan hanya soal konten dan metode, tapi juga soal kesiapan hati yang bersih untuk menerima petunjuk-Nya. Disinilah tantangan guru, asatid/ah, dan orang tua untuk terus berbenah. Demikian juga para pengambil kebijakan pendidikan baik dari legislatif dan eksekutif.
GASKEUN! Wujudkan Sinergi Keren di Era Digital
Konsep "Super Team" Pendidikan Islami dan metode kenabian bukanlah sekadar teori indah. Perlu ada langkah konkret untuk mewujudkannya, terutama dalam mengintegrasikan ketiga pilar di era digital ini. Semangat "Gaskeun!" harus diterjemahkan menjadi aksi kolaboratif yang nyata.
Contoh Nyata Kolaborasi Ortu-Sekolah-Komunitas (Termasuk Online/Pesantren Digital)
Sinergi Tri Sentra dapat diwujudkan melalui berbagai program kolaboratif yang memanfaatkan teknologi. Beberapa contoh praktis antara lain:
Komunikasi Intensif: Sekolah dan orang tua dapat menjalin komunikasi rutin melalui grup WhatsApp kelas atau platform komunikasi sekolah untuk memantau perkembangan belajar dan karakter anak, serta menyelaraskan pendekatan pendidikan di rumah dan sekolah.
Program Edukasi Bersama: Mengadakan seminar atau workshop (bisa online/hybrid) bagi orang tua dan guru tentang tema-tema relevan seperti parenting Islami di era digital, strategi mendampingi anak belajar online, atau pencegahan dampak negatif teknologi.
Keterlibatan Orang Tua di Sekolah: Mengundang orang tua sebagai narasumber sesuai keahliannya, melibatkan mereka dalam kegiatan sekolah (misalnya, panitia acara keagamaan, pendamping studi tur), atau membentuk paguyuban orang tua yang aktif mendukung program sekolah.
Kemitraan dengan Komunitas: Sekolah/madrasah dapat bekerjasama dengan masjid, organisasi kepemudaan Islam (Rohis), atau lembaga kursus untuk program ekstrakurikuler keagamaan, bakti sosial, atau pelatihan keterampilan. Pesantren bahkan bisa bermitra dengan masyarakat sekitar untuk pengembangan wirausaha syariah.
Platform Belajar Bersama: Memanfaatkan Learning Management System (LMS) atau platform online lainnya yang memungkinkan guru, siswa, dan orang tua berinteraksi, mengakses materi, dan memantau progres belajar bersama.
Dukungan Masyarakat: Komite sekolah atau tokoh masyarakat dapat berperan aktif dalam memberikan masukan, dukungan moral, bahkan bantuan material untuk peningkatan kualitas pendidikan di sekolah/madrasah.
Praktik Metode Nabi Pakai Tools Digital
Teknologi digital dapat dimanfaatkan secara kreatif untuk mengaplikasikan ketiga metode pendidikan Nabi:
Tilawah Digital:
- Menggunakan aplikasi Al-Qur'an interaktif yang menyediakan audio per ayat, terjemahan, tafsir ringkas, dan panduan tajwid visual.
- Mengikuti halaqah (kelompok belajar) Al-Qur'an online yang dibimbing oleh guru terpercaya.
- Memanfaatkan fitur gamifikasi dalam aplikasi belajar mengaji untuk meningkatkan motivasi.
- Menonton video tadabbur ayat atau kajian tafsir tematik di platform seperti YouTube dari sumber yang kredibel.
- Tazkiyah Digital:
Mengikuti sesi konseling atau mentoring spiritual online dengan ustadz/psikolog Muslim.
Mengkurasi feed media sosial agar lebih banyak terpapar konten positif dan inspiratif.
Menggunakan aplikasi pengingat dzikir, doa harian, atau jadwal shalat.
Bergabung dalam komunitas online yang suportif untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan berbagi refleksi (dengan moderasi yang baik).
Mengikuti tantangan digital detox secara berkala untuk melatih pengendalian diri.
Memanfaatkan platform crowdfunding atau media sosial untuk menggalang dana atau berpartisipasi dalam kegiatan sosial/kemanusiaan sebagai wujud amal shaleh.
Ta'lim Digital:
Mengikuti kursus online (Massive Open Online Courses - MOOCs) tentang studi Islam dari universitas atau lembaga terkemuka.
Mengakses perpustakaan digital yang menyediakan kitab-kitab klasik dan kontemporer.
Menggunakan aplikasi atau software pembelajaran bahasa Arab interaktif.
Bermain game edukasi Islami yang dirancang untuk mengajarkan sejarah Islam, fiqih, atau akidah.
Memanfaatkan platform berbasis AI yang dapat menyajikan materi belajar yang dipersonalisasi sesuai tingkat pemahaman pengguna.
Transformasi digital dalam pendidikan Islam bukan sekadar memindahkan materi ke format online, melainkan menggunakan teknologi secara strategis untuk memperkuat sinergi Tri Sentra dan memfasilitasi metode Tilawah, Tazkiyah, dan Ta'lim dengan cara-cara baru yang lebih efektif dan relevan.1 Namun, perlu diingat bahwa teknologi hanyalah alat. Sentuhan personal, keteladanan (uswah), dan bimbingan langsung dari guru dan orang tua tetap tak tergantikan, terutama dalam proses Tazkiyah dan pembentukan karakter.12 Pendekatan hybrid atau blended learning yang mengkombinasikan keunggulan interaksi tatap muka dan fleksibilitas teknologi mungkin menjadi model yang paling ideal untuk pendidikan Islam holistik di masa depan.
Penutup: Barengan Jadi Generasi Keren pada Pandangan Allah!
Membentuk generasi muda yang "keren abis di pandangan Allah"---generasi yang cerdas, berakhlak mulia, mandiri, peduli, dan teguh memegang nilai-nilai Qur'ani di tengah arus zaman---adalah tanggung jawab bersama. Kuncinya terletak pada sinergi yang kuat antara tiga pilar utama: keluarga sebagai fondasi, sekolah/madrasah sebagai pengembang potensi, dan lingkungan (termasuk digital) sebagai arena aktualisasi. Kekuatan "Super Team" ini akan semakin dahsyat jika dipandu oleh kebijaksanaan metode pendidikan kenabian: Tilawah yang menyentuh hati, Tazkiyah yang menyucikan jiwa, dan Ta'lim yang mencerahkan akal.
Era digital membawa tantangan sekaligus peluang emas. Sebuah ajakan dilayangkan kepada semua pihak---generasi muda, para orang tua, pendidik, tokoh masyarakat, pengembang teknologi---untuk bergerak bersama, "Gaskeun!" kolaborasi ini. Mari manfaatkan teknologi secara bijak dan kreatif untuk mendekatkan diri pada Al-Qur'an, membersihkan hati, dan menebar kebaikan. Setiap individu memiliki peran penting dalam mewujudkan visi besar ini. Dengan ikhtiar bersama dan pertolongan Allah SWT, niscaya akan lahir generasi penerus bangsa yang tidak hanya kompeten menghadapi masa depan, tetapi juga menjadi pribadi-pribadi shalih yang diridhai-Nya.
Wallahu a'lam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI