Mohon tunggu...
Suyitno Suyitno
Suyitno Suyitno Mohon Tunggu... Founder Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah Tijarotul Qur'aniyah Sukoharjo

Alhamdulillah, bisa bermanfaat bagi yang lain

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Semangat Mulai Merapuh: Menavigasi Kebosanan dan Beban di Madrasah dan Pesantren

22 April 2025   08:40 Diperbarui: 22 April 2025   08:38 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendahuluan

Kehidupan di pesantren atau sekolah atau madrasah, dengan segala disiplin dan tuntutan ilmunya, adalah kawah candradimuka yang menempa karakter dan memperdalam pemahaman agama. Namun, dalam perjalanan yang penuh berkah ini, tak jarang dijumpai riak-riak kecil yang dapat mengganggu harmoni. Salah satunya adalah perasaan bosan dan tertekan yang mungkin dialami oleh sebagian santri, seperti yang dialami oleh Jaka (nama samaran). Kondisi ini, jika tidak ditangani dengan bijak, dapat mempengaruhi tidak hanya individu yang bersangkutan, tetapi juga lingkungan sekitarnya.

Mari kita telaah fenomena ini dari berbagai sudut pandang, sembari merangkai solusi yang konstruktif berlandaskan ajaran Islam dan prinsip-prinsip psikologi.

(a) Sudut Pandang Santri (Jaka): Gelombang Kebosanan dan Beban yang Membebani

Dari balik rutinitas yang padat, hafalan yang menumpuk, dan aturan yang mengikat, Jaka merasakan gelombang kebosanan yang kian hari kian menggerogoti semangatnya. Awalnya, ia datang ke pesantren dengan antusiasme yang membara, namun kini, setiap kegiatan terasa monoton dan membebani. Ia merasa tertekan dengan ekspektasi untuk selalu berprestasi, sementara di sisi lain, minat dan energinya seolah terkuras.

"Semua terasa sama setiap hari. Bangun, sholat, belajar, menghafal, tidur, lalu berulang lagi," 

keluhnya dalam hati. Beban pelajaran yang terasa berat membuatnya mudah frustrasi. Ia mulai sering melamun di kelas, kurang fokus saat muroja'ah, dan bahkan beberapa kali melanggar peraturan kecil hanya untuk mencari "sensasi" atau pelarian sesaat dari kejenuhan.

Tanpa disadari, sikap negatif Jaka mulai menular kepada teman-temannya. Celotehan-celotehan pesimisnya tentang betapa membosankannya pesantren, atau keluh kesahnya tentang sulitnya pelajaran, sedikit demi sedikit meruntuhkan semangat belajar teman-temannya. Beberapa santri lain yang awalnya bersemangat, mulai ikut merasa demotivasi dan mempertanyakan efektivitas upaya mereka.

Perspektif Pendidikan: 

Apa yang dialami Jaka dapat dijelaskan melalui beberapa konsep psikologi dan pendidikan, di antaranya adalah Teori Determinasi Diri (Self-Determination Theory - SDT). Teori ini menekankan pentingnya pemenuhan tiga kebutuhan psikologis dasar untuk motivasi dan kesejahteraan intrinsik:

  • Otonomi (Autonomy): Perasaan memiliki kendali dan pilihan dalam tindakan. Rutinitas pesantren yang ketat terkadang mengurangi rasa otonomi ini.
  • Kompetensi (Competence): Perasaan mampu dan efektif dalam melakukan tugas. Beban akademik yang dirasakan berat dapat menggerogoti rasa kompetensi.
  • Keterhubungan (Relatedness): Perasaan terhubung dan diterima oleh orang lain. Jika Jaka merasa terisolasi atau tidak dipahami, kebosanannya bisa semakin parah.

Selain itu, efek penularan emosi (emotional contagion) menjelaskan bagaimana emosi seseorang dapat mempengaruhi emosi orang lain di sekitarnya. Sikap negatif Jaka berpotensi menciptakan atmosfer negatif di antara teman-temannya.

(b) Sudut Pandang Orang Tua Santri: Kekhawatiran di Balik Harapan

Sebagai orang tua Jaka, tentu ada harapan besar agar putra mereka dapat menimba ilmu agama dengan baik dan menjadi pribadi yang saleh. Namun, mendengar keluhan-keluhan samar dari Jaka saat berkomunikasi, atau mungkin mendapatkan informasi dari pihak pesantren mengenai perubahan perilakunya, menimbulkan kekhawatiran.

"Dulu dia sangat antusias, tapi kenapa sekarang terdengar lesu?" 

tanya mereka dalam hati. Orang tua mungkin merasa dilema antara mempercayai proses pendidikan di pesantren dan merespons kebutuhan emosional anak mereka. Mereka khawatir jika tekanan yang dirasakan Jaka akan berdampak negatif pada perkembangan mental dan spiritualnya.

Perspektif Pendidikan: 

Dari sudut pandang orang tua, penting untuk memahami konsep keseimbangan antara dukungan dan otonomi. Meskipun mereka memiliki harapan dan kekhawatiran, memberikan ruang bagi Jaka untuk mengekspresikan perasaannya dan mencari solusi sendiri (dengan bimbingan) dapat meningkatkan rasa otonominya. Mendengarkan dengan empati tanpa menghakimi adalah kunci untuk membangun komunikasi yang efektif.

Selain itu, orang tua perlu memahami bahwa adaptasi di lingkungan baru seperti pesantren membutuhkan waktu dan proses yang berbeda bagi setiap anak. Membandingkan Jaka dengan santri lain yang tampak lebih cepat beradaptasi dapat kontraproduktif dan justru menambah tekanannya.

(c) Sudut Pandang Tim Kepengasuhan (Musyrifun/Musyrifat): Deteksi Dini dan Intervensi yang Tepat

Bagi tim kepengasuhan, perubahan perilaku Jaka perlu menjadi perhatian serius. Tugas musyrifun/musyrifat bukan hanya memastikan kedisiplinan dan ketertiban, tetapi juga memantau kesejahteraan emosional para santri. Musyrifun/musyrifat adalah sosok orang tua di dalam pesantren. Kebosanan dan beban yang dirasakan Jaka, apalagi sampai mempengaruhi teman-temannya, dapat mengganggu iklim belajar yang kondusif di pesantren.


Perspektif Pendidikan:
Tim kepengasuhan dapat menggunakan prinsip deteksi dini dan intervensi. Mengamati perubahan perilaku santri, seperti penurunan motivasi, sering melamun, atau melanggar aturan, adalah langkah awal deteksi. Selanjutnya, melakukan pendekatan individual dengan Jaka untuk memahami akar permasalahannya adalah bentuk intervensi awal.

Teori Kognitif-Behavioral (Cognitive-Behavioral Theory - CBT) juga relevan di sini. Tim kepengasuhan dapat membantu Jaka mengidentifikasi pikiran-pikiran negatifnya tentang pesantren dan menggantinya dengan pikiran yang lebih positif dan realistis. Jika Jaka kesulitan menyampaikannya secara verbal, maka beri kesempatan kepada Jaka untuk menuliskannya atau menggambarkannya. Mereka juga dapat membantu Jaka mengembangkan strategi coping yang lebih adaptif untuk menghadapi beban belajar dan rutinitas.

Bagaimana caranya:
Dalam menangani kasus Jaka, musyrifun/musyrifat dapat menerapkan strategi coping berfokus pada masalah dan emosi secara terintegrasi. Pendekatan awal adalah dengan membangun komunikasi terbuka untuk mengidentifikasi akar kebosanan dan bebannya (problem-focused). Selanjutnya, musyrif/musyrifah dapat membantu Jaka menyusun jadwal belajar yang lebih terstruktur dan memberikan pilihan dalam beberapa kegiatan pesantren untuk meningkatkan otonominya. Kemudian, di sisi emosional, mereka dapat memberikan dukungan dengan mendengarkan keluh kesahnya tanpa menghakimi, membantu Jaka melakukan penilaian ulang positif terhadap tantangan di pesantren sebagai bagian dari proses pendewasaan, serta mengarahkannya pada kegiatan relaksasi atau penyaluran minat yang positif di luar kegiatan akademik, sembari terus memantau interaksinya dengan teman-temannya untuk mencegah penularan emosi negatif.


Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 286:

  


"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."   


Ayat ini memberikan penguatan bahwa Allah SWT tidak akan memberikan ujian di luar kemampuan hamba-Nya. Perasaan terbebani yang dialami Jaka bisa menjadi indikasi bahwa ia membutuhkan dukungan dan penyesuaian dalam pendekatannya terhadap pembelajaran dan rutinitas pesantren. Doa yang terkandung dalam ayat ini juga mengajarkan kita untuk memohon keringanan dan kekuatan kepada Allah SWT dalam menghadapi setiap kesulitan. Musyrifun/musyrifat perlu mengajarkan doa dan membiasakan doa ini kepada Jaka sebagai bagian pembiasaan dzikir dan doa.

Rasulullah juga bersabda:

  


"Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali ia akan dikalahkan (tidak mampu melaksanakannya). Maka, berlakulah lurus, mendekatlah (kepada kebenaran), berilah kabar gembira, dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan memanfaatkan waktu pagi, waktu sore, dan sebagian waktu malam." (HR. Bukhari)

Hadis ini mengingatkan bahwa agama Islam adalah agama yang mudah. Jika Jaka merasa terbebani, mungkin ada pendekatan yang perlu disesuaikan dalam proses belajarnya. Musyrifun/musyrifat perlu melakukan deteksi dan diagnosa terhadap pendekatan kegiatan belajar mengajar di pesantren yang mungkin tidak cocok dengan Jaka. Anjuran untuk memanfaatkan waktu dengan baik dan memberi ruang usulan bagi para santri untuk mengusulkan aktivitas baik yang disukai mereka juga perlu untuk selalu dicoba dalam konteks belajar di pesantren.

Apakah Ada Perbedaan Antara Santri Putra dan Putri?

Secara psikologis, meskipun terdapat perbedaan individual yang signifikan, beberapa penelitian menunjukkan adanya kecenderungan perbedaan dalam cara mengekspresikan emosi dan menghadapi stres antara laki-laki dan perempuan.

  • Santri Putra: Mereka cenderung lebih tertutup dalam mengungkapkan perasaan tertekan atau bosan, dan lebih memilih untuk menyalurkannya melalui tindakan (misalnya, melanggar aturan). Mereka mungkin juga lebih fokus pada solusi praktis dan kompetisi.
  • Santri Putri: Cenderung lebih terbuka dalam berbagi perasaan dengan teman atau figur otoritas yang dipercaya. Mereka cenderung lebih mencari dukungan sosial dan lebih sensitif terhadap dinamika hubungan interpersonal.

Namun, penting untuk diingat bahwa ini adalah generalisasi dan setiap individu unik. Tim kepengasuhan perlu memiliki kepekaan terhadap perbedaan individual ini dalam melakukan pendekatan kepada santri putra maupun putri yang mengalami masalah.

Langkah Solutif dan Konstruktif:

Menghadapi situasi seperti yang dialami Jaka membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif antara santri, orang tua, dan tim kepengasuhan:

  • Komunikasi Terbuka: Menciptakan ruang aman bagi santri untuk menyampaikan keluh kesah mereka tanpa takut dihakimi. Tim kepengasuhan perlu aktif mendengarkan dan menunjukkan empati.
  • Identifikasi Akar Masalah: Bersama Jaka, gali lebih dalam penyebab kebosanan dan bebannya. Apakah itu terkait dengan metode belajar, tekanan akademik, masalah sosial, atau faktor lainnya?
  • Penyesuaian Metode Belajar: Jika beban akademik terasa terlalu berat, mungkin perlu ada penyesuaian dalam strategi belajar, manajemen waktu, atau bahkan kurikulum (jika memungkinkan).
  • Peningkatan Otonomi: Memberikan santri lebih banyak pilihan dan keterlibatan dalam kegiatan pesantren (misalnya, dalam organisasi atau kegiatan ekstrakurikuler) dapat meningkatkan rasa otonomi mereka.
  • Penguatan Keterhubungan: Mendorong interaksi positif antar santri melalui kegiatan kelompok, mentoring, atau forum diskusi dapat memperkuat rasa kebersamaan dan dukungan sosial.
  • Bimbingan dan Konseling: Menyediakan akses ke bimbingan dan konseling dengan musyrif/musyrifah atau profesional jika diperlukan, untuk membantu santri mengatasi masalah emosional dan mengembangkan strategi coping yang sehat.
  • Keterlibatan Orang Tua: Menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua untuk mendapatkan pemahaman yang lebih utuh tentang kondisi santri dan bersama-sama mencari solusi terbaik.
  • Fokus pada Tujuan dan Makna: Mengingatkan kembali para santri tentang tujuan mulia mereka menuntut ilmu di pesantren dan menanamkan kesadaran akan nilai-nilai agama yang luhur dapat membangkitkan kembali motivasi intrinsik.

Dengan memahami akar permasalahan dan mengambil langkah-langkah yang tepat, diharapkan Jaka dan santri lain yang mungkin mengalami hal serupa dapat kembali menemukan semangat dalam menimba ilmu di pesantren, menjadikan setiap tantangan sebagai bagian dari proses pendewasaan yang berharga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun