Mohon tunggu...
Suviyanti 'Story Box'
Suviyanti 'Story Box' Mohon Tunggu... -

Ini hanya coretan kecil

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bangsa yang Rela Menderita Demi Pembelian Cita-cita

5 Juli 2013   19:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:57 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini lumayan terinspirasi dari cerita singkat dosen management tentang asal muasal lahirnya ilmu management.

Kenapa management lahir dari barat (yang rata-rata negara 4 musim)? Ini pertanyaan awalnya.

Kami sekelas diam, hanya menunggu jawaban saja.

Simple tapi cukup menggelitik, dan jawabannya sempet bikin saya lumayan mikir tentang negara kita.

Jawabannya kira-kira begini :

“Orang timur itu (bicara yang rata-rata tinggal di tropis/dua musim yah, walau ada juga yang 4 musim), habis makan duren, buang aja bijinya ke tanah, gak lama tumbuh tuh buah yang baru, bisa dimakan atau di jual ke luar. Kalau tropis atau dua musim,tanam padi atau kentang, setahun minimal bisa panen raya dua kali atau lebih. Makmur toh seharusnya? alamnya mendukung...

Di negara 4 musim? Boro-boro... Masih panen raya setahun sekali aja uda syukur banget. Apalagi kalau musim dingin datang, mereka harus prepare lebih banyak karena masalah suhu kadang menghalang mereka buat beraktivitas. Matahari terbit kira-kira jam 9 pagi, lalu jam 2 siang, langit sudah mulai gelap lagi (berdasarkan pengalaman beliau), winter itu paling susah membangun semangat kerja karena suhu dan suasana itu benar-benar cocok buat hibernasi, kalau keluar rumah tuh rasanya badan gak kuat melawan dinginnya, meludah aja belum sampai tanah sudah jadi es (hehehe).

Dari situlah orang-orang di negara 4 musim mulai memutar otak tentang bagaimana mengatur efektivitas dan efisiensi kerja di dalam situasi musim-musim itu, dan bagaimana melihat keunggulan dan kelemahan negara mereka untuk terus survive bahkan bergerak maju.”

Banyak mikir vs banyak malas,  mungkin ini point utamanya yang membedakan.

Mungkin dulu, yang banyak mikir itu mati-matian membangun strategi untuk bisa survive atau bahkan maju, melawan semua keterbatasan dan menantang diri untuk berkembang.

Mungkin juga dulu, yang banyak malas + ketolong sama “kondisi alam yang strategis”, jadi semakin santai dan “lupa” untuk maju, akhirnya yang “sana” maju pesat, yang “sini” mulai dijajah dan gak siap untuk bertahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun