Mohon tunggu...
Sutriyadi
Sutriyadi Mohon Tunggu... Penulis - Pengangguran

Sekali hidup hidup sekali

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pendidikan Agama Dihapus? Siapa Takut!

12 Juli 2019   19:51 Diperbarui: 12 Juli 2019   20:06 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: pendidikanberpena.wordpress.com (sedikit dimodifikasi)

Kadang emosi kita mudah meledak-ledak ketika mendengar persoalan agama. Belum tuntas informasi yang kita peroleh debur dada seolah lebih kencang dari debur ombak menghantam karang. Sentimental ini telah menjadi penyakit menular di masyarakat yang harus diobati kalau perlu diamputasi, hehe. Indonesia ini tidak akan menjadi negara ateis lantaran dihapusnya kurikulum pendidikan agama di sekolah formal. Bisa jadi ateisme semakin naik daun dikarenakan tak kunjung menemukan jawaban yang memuaskan dari pendidikan agama yang dipelajarinya di sekolah.

Isu penghapusan pendidikan agama seringkali muncul bak lumba-lumba. Kemungkinan mereka yang memiliki gagasan berilian ini masih takut untuk menyampaikan aspirasinya karena khawatir dilabrak khalayak ramai.

Sehingga pada akhirnya S.D Darmono usai bedah buku Bringing Civilizations Together miliknya minggu lalu menumpahkan unek-unek dan gagasanya, menyarankan agar pendidikan agama dihapus.

Seorang Darmono tentu tidak igau, pernyataanya tersebut pasti disertai dengan alasan-alasan ilmiah. Usulan penghapusan pendidikan agama ini bukanlah barang baru, jauh sebelumnya juga sering muncul namun dianggap tabu sehingga beramai-ramai menolak terjadinya regulasi tersebut.

Ya, ada juga yang setuju tapi satu sampai tiga orang saja dari penduduk Indonesia yaitu saya, Darmono, dan satunya lagi tidak mau disebutkan namanya, ckck.

Tentu saya juga tidak seenak cium ketiak sendiri menyatakan setuju dengan pernyataan pengusaha di atas. Alasannya boleh kita adu. Kalau pun tidak cocok, tidak juga harus pakai otot.

Saya berpikir begini jika pendidikan agama diterapkan di sekolah formal maka dalam proses KBM-nya pun akan menggunakan pendekatan formalistis padahal pendidikan agama sangatlah bertolak belakang pendekatannya dengan pedidikan non agama semisal matematika. IPA, Bahasa Inggris, dan sebagainya.

Sebab agama bukan tentang bagaimana mereka menghafal dan menguasai teori lalu praktek di depan kelas yang dipandu oleh guru dengan gaya mendidiknya yang kebarat-baratan. Sangat tidak relevan, Martasan! Karena pendidikan agama adalah sentral dalam jiwa manusia yang didik ruhnya agar menjadi penghamba yang baik. Mereka dituntun ke jalan yang benar yang nilai akhir (UN-nya) Tuhan sendiri yang menentukan bukan di dunia ini tapi kelak setelah hidup.

Kan lucu, misal kita iseng-iseng ada lomba praktek salat, sedekah, dan puasa sebagai saingan dari OSN, lalu jurinya Martasan dkk. Kira-kira jurinya tahu tidak peserta ini khusyuk dan ikhlas? Kira-kira jurinya mau menunggu dari awal sahur sampai buka puasa? Di sekolah semua mata pelaran disamaratakan dengan menggunakan pendekatan ala kekinian. Apakah sebab ini pula praktek agama pun sering kita jumpai di tengah-tengah jalan raya dan di tempat-tempat umum lainnya, beramai-ramai, dan dijadikan alat politik sehingga mengganggu ketertiban umum?

Selain itu, di sekolah formal jam tayang pendidikan agama selalu dinomorduakan. Sepengalaman saya, pendidikan agama hanya satu mingggu sekali (satu jam) yang gurunya juga lulusan pendidikan agama dari PTN/PTS bahkan yang lebih mengerikan lagi mereka bukan lulusan sarjana pendidikan agama.

Saya meragukan kualitas mereka sebagai pendidik karena belajar agama (terutama Islam) yang tepat itu bukanlah di sekolah formal PTN/PTS apalagi google dan youtube tapi di pesantren atau madrasah-madrasah non formal. Sehingga akan berdampak pula pada pemahaman agama yang dikuasai oleh siswa.

Pendidikan agama di perguruan tinggi hanya sebatas legalitas sebagai syarat menjadi tenaga pengajar. Belajar agama (Islam) tak sebaik dan tak sedalam di pesantren.

Padahal kita tahu pendidikan agama itu sangat luas sekali. Anak-anak di pesantren, surau dan madrasah-madrasah, mereka setiap hari mendalami satu cabang disiplin ilmu agama dan itu butuh satu tahun untuk beranjak ke cabang ilmu yang lain. Lebih berat dari rindu Dilan, bukan!

Selain itu, sangat berbahaya sekali jika pemahaman tentang agama hanya sebatas kulitnya saja sedangkan yang paling penting dan fundamentalis adalah esensi dan penerapannya dalam hidup yang berketuhanan dan berkewarganegaraan. Hal ini juga sebagai jalan untuk memutus persoalan radikalisme dan terorisme, karena keduanya itu lahir dari pemahaman agama yang setengah-setengah.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ada beberapa faktor yang memotivasi seseorang bergabung dalam jaringan terorisme. Pertama, faktor domestik, yakni kondisi dalam negeri yang semisal kemiskinan, ketidakadilan atau merasa kecewa dengan pemerintah.

Kedua, faktor internasional, yakni pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya dorong tumbuhnya sentimen keagamaan seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan, dan imperialism modern negara adidaya.

Ketiga, faktor kultural yang sangat terkait dengan pemahaman keagamaan yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal (harfiyah) lihat: Stategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme-ISIS.

Oleh sebab itu melihat kondisi radikalisme dan terorisme yang tengah melanda negeri ini alangkah pentingnya pemerintah mengambil langkah strategis sebelum semuanya mengakar rumput. Ciri paham radikal yang dikemukakan BNPT di antaranya intoleran, fanatik, eksklusif, dan revolusioner semuanya ini sudah ada dan mudah kita tonton dari televisi dan media sosial terutama pada saat tahapan pemilihan presiden dan wakil presiden beberapa waktu lalu.

Dua alasan di atas antara guru dan lingkungan dalam proses belajar agama harus bersamaan di satu tempat yang memungkinkan siswa dapat berinteraksi sosial secara langsung dengan guru sehingga semacam ada kontroling dan contoh penerapan ilmu agama yang diperoleh di kelas dalam kehidupan nyata.

Hal ini dapat kita temukan di pesantren. Walaupun tidak digaji, pesantren tetap menjadi lembaga yang tidak diragukan lagi kualitasnya, karena kiai dan ustaz tidak sebatas mengajar dan mendidik saja, tapi juga mendoakan para santri di seperempat malam seolah ada hubungan batiniyah antara guru dan murid dan hal ini yang tidak ada di pendidikan formal.

Karena proses belajar agama itu tak secepat naik tol maka perlu bertahun-tahun untuk menguasainya apalagi jadi ustaz. Jadi jangan takut pendidikan agama dihapus, kan ada madrasah dan pesantren yang lebih baik. Bagi yang beragama Kristen masih ada sekolah minggu dan katekisasi serta lembaga pendidikan keagamaan lainnya.

Mari kita tata dengan baik agama dan pendidikan kita. Seperti yang dikatakann Albert Einstein: Ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun