Mohon tunggu...
Sutriyadi
Sutriyadi Mohon Tunggu... Penulis - Pengangguran

Sekali hidup hidup sekali

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pendidikan Agama Dihapus? Siapa Takut!

12 Juli 2019   19:51 Diperbarui: 12 Juli 2019   20:06 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: pendidikanberpena.wordpress.com (sedikit dimodifikasi)

Pendidikan agama di perguruan tinggi hanya sebatas legalitas sebagai syarat menjadi tenaga pengajar. Belajar agama (Islam) tak sebaik dan tak sedalam di pesantren.

Padahal kita tahu pendidikan agama itu sangat luas sekali. Anak-anak di pesantren, surau dan madrasah-madrasah, mereka setiap hari mendalami satu cabang disiplin ilmu agama dan itu butuh satu tahun untuk beranjak ke cabang ilmu yang lain. Lebih berat dari rindu Dilan, bukan!

Selain itu, sangat berbahaya sekali jika pemahaman tentang agama hanya sebatas kulitnya saja sedangkan yang paling penting dan fundamentalis adalah esensi dan penerapannya dalam hidup yang berketuhanan dan berkewarganegaraan. Hal ini juga sebagai jalan untuk memutus persoalan radikalisme dan terorisme, karena keduanya itu lahir dari pemahaman agama yang setengah-setengah.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ada beberapa faktor yang memotivasi seseorang bergabung dalam jaringan terorisme. Pertama, faktor domestik, yakni kondisi dalam negeri yang semisal kemiskinan, ketidakadilan atau merasa kecewa dengan pemerintah.

Kedua, faktor internasional, yakni pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya dorong tumbuhnya sentimen keagamaan seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan, dan imperialism modern negara adidaya.

Ketiga, faktor kultural yang sangat terkait dengan pemahaman keagamaan yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal (harfiyah) lihat: Stategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme-ISIS.

Oleh sebab itu melihat kondisi radikalisme dan terorisme yang tengah melanda negeri ini alangkah pentingnya pemerintah mengambil langkah strategis sebelum semuanya mengakar rumput. Ciri paham radikal yang dikemukakan BNPT di antaranya intoleran, fanatik, eksklusif, dan revolusioner semuanya ini sudah ada dan mudah kita tonton dari televisi dan media sosial terutama pada saat tahapan pemilihan presiden dan wakil presiden beberapa waktu lalu.

Dua alasan di atas antara guru dan lingkungan dalam proses belajar agama harus bersamaan di satu tempat yang memungkinkan siswa dapat berinteraksi sosial secara langsung dengan guru sehingga semacam ada kontroling dan contoh penerapan ilmu agama yang diperoleh di kelas dalam kehidupan nyata.

Hal ini dapat kita temukan di pesantren. Walaupun tidak digaji, pesantren tetap menjadi lembaga yang tidak diragukan lagi kualitasnya, karena kiai dan ustaz tidak sebatas mengajar dan mendidik saja, tapi juga mendoakan para santri di seperempat malam seolah ada hubungan batiniyah antara guru dan murid dan hal ini yang tidak ada di pendidikan formal.

Karena proses belajar agama itu tak secepat naik tol maka perlu bertahun-tahun untuk menguasainya apalagi jadi ustaz. Jadi jangan takut pendidikan agama dihapus, kan ada madrasah dan pesantren yang lebih baik. Bagi yang beragama Kristen masih ada sekolah minggu dan katekisasi serta lembaga pendidikan keagamaan lainnya.

Mari kita tata dengan baik agama dan pendidikan kita. Seperti yang dikatakann Albert Einstein: Ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun