Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wuih, Kaum Wahabi Sudah Pandai Main Perda

9 Juni 2012   02:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:13 1434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paham Wahabi biasanya ditahbiskan pada ajaran keagamaan yang diperkenalkan oleh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) dari Arab Saudi, yang berakar dari mazhab Hambali (Imam Ahmad bin Hambal, 781 - 855 M, 164 - 241 AH). Muhammad bin Abdul al-Wahhab sendiri adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti dalam Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi sekarang. Para penganjur paham Muhammad bin Abdul al-Wahhab sendiri tidak senang diri mereka disebut sebagai Wahabi karena mereka bukan membawa ajaran Wahabi melainkan ajaran Rasulullah Muhammad SAW. Mereka menyebut paham perjuangannya sebagai Salafis atau Muwahhidun, artinya "satu Tuhan" (Tauhid). Ciri khas perjuangan Wahabis adalah hendak memurnikan ajaran agama baik dengan cara-cara damai maupun pemaksaan/kekerasan. Para pendukungnya sangat kaku dalam beragama dan tidak mengenal kompromi dengan ajarannya. Tersebutlah pada zaman dahulu paham ini menjelma dalam diri para pejuang Paderi di tanah Minangkabau dan Batak yang dipimpin dua tokoh terkenal bergelar Tuanku Imam Bonjol (1772-1864 M) dan Tuanko Rao (1790-1883 M).

[caption id="attachment_181641" align="aligncenter" width="300" caption="Tuanku Rao, sumber: rajagukguk-blog.blogspot.com"][/caption] Seiring berjalannya waktu Indonesia pun merdeka dari penjajahan kolonial asing (Belanda dan Jepang). Pasca kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, perjuangan para pengajur paham Wahabi untuk mendirikan negara Islam tidak kesampaian. Kompromi para tokoh pendiri bangsa pada waktu itu sepakat menghapus tujuh kata dalam sila pertama Pancasila pada Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945. Tujuh kata yang dihapus itu adalah yang ditulis miring berikut ini: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sehingga terakhir berbunyi seperti sila pertama Pancasila sekarang ini: Ketuhanan Yang Maha Esa. Paham Wahabi tidak berhenti merasuk dalam diri sebagian orang-orang Indonesia pasca kemerdekaan tersebut. Ajaran ini mengendap seperti api dalam sekam. Ada kemasygulan dan ketidakrelaan atas kegagalan mendirikan negara Islam dengan dihapusnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut. Benar saja. Pada tanggal 7 Agustus 1949 diproklamirkanlah berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1905-1962) di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan [caption id="attachment_181639" align="alignright" width="150" caption="Kartosoewirjo, sumber: wikipedia.org"]

13392047242052753847
13392047242052753847
[/caption] Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Tak menunggu lama gerakan ini pun ditumpas habis oleh pemerintahan Presiden Sukarno. Sekalipun sudah tamat, beberapa kalangan meyakini gerakan NII masih eksis melakukan perjuangan di bawah tanah sampai saat ini. Perjuangan mendirikan Negara Islam dan penghianatan kesepakatan landasan dasar fundamental negara bernama Pancasila, selalu bisa ditumpas dari waktu ke waktu. Namun demikian ide Negara Islam atau Khilafah yang berlandaskan syariah dalam Quran dan Hadist tersebut terus hidup di dalam jiwa sanubari sebagian orang Indonesia hingga hari ini. Implementasi dari perjuangan mereka terlihat dari pemaksaan agama baik secara fisik maupun dengan menunggangi proses legislasi nasional dan daerah. Melalui prosedur legislasi, syariah bisa dipaksakan keberlakuannya. Pelanggaran terhadap syariah bisa ditegakkan oleh aparatur negara. Untuk pelanggaran peraturan daerah (Perda) ditegakkan oleh Polisi Pamong Praja. Sedangkan pelanggaran terhadap perundangan setingkat undang-undang (UU) dapat ditegakkan oleh polisi (pidana) atau aparatur sipil negara (administratif). Perjuangan kaum Salafis dengan jurus "dari atas ke bawah", yakni mengubah konstitusi UUD 1945, terbukti telah gagal total. Sejarah telah membuktikannya. Sebut saja mulai dari perjuangan mempertahankan tujuh kata keramat dalam Piagam Jakarta, NII Kartosoewirjo (Jawa Barat),  DI/TII Ibnu Hadjar (Kalimantan), DI/TII Amir Fatah (Jawa Tengah), DI/TII Kahar Muzakkar (Sulawesi), sampai DI/TII Daud Beureueh (Aceh). Semua gagal total. Seiring menguatnya sistem hukum demokratis pasca gerakan Reformasi tahun 1998, dimana proses legislasi lebih demokratis mengakomodir kehendak warga yang direpresentasikan oleh DPR/DPRD, gerakan perjuangan kaum Salafis telah bermetamorfose dari pemaksaan agama secara fisik berubah menjadi pemaksaan agama secara hukum. Perjuangan "dari bawah ke atas" atau "desa mengepung kota" telah dimulai. Jika era tahun 1970-an hanya ada satu saja undang-undang yang bernuansa syariah, yaitu UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sekarang sudah bertambah-tambah makin banyak. Mulai dari perundangan setingkat UU sampai Perda. Untuk UU sebut saja UU Perbankan (UU 10/1998), UU Zakat (UU 38/1999), dan UU Haji (UU 13/2008). Sedangkan untuk Perda syariah di provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia diyakini sangat banyak, bisa ratusan jumlahnya. Data xa.yimg.com sampai tahun 2009 saja sudah ada 151 Perda syariah di seluruh Indonesia. Dalam pada itu Setara Institute mencatat sampai tahun 2012, terdapat 154 Perda tentang syariah yang tersebar di 76 daerah kabupaten/kota seluruh Indonesia. Sementara wikipedia.org mencatat Perda berlandaskan agama (Syariah dan Injil) dari tahun 2004-2009 sejumlah 65 buah. Perda tentang syariah tersebut memaksakan cara-cara beragama pada warga, seperti wajib berjilbab bagi perempuan muslim, wajib pandai baca tulis Quran bagi calon murid, wajib hafal asmaul husna, wajib pesantren Ramadhan, wajib pandai baca tulis Quran bagi calon pengantin, dan seterusnya. Apa yang salah dengan Perda syariah dan pemaksaan beragama demikian? Pada edisi berikutnya akan kita kupas 'apa yang salah' tersebut khususnya dari perspektif hukum. Salaman.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun