Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politisi Kutu Loncat, Mengapa?

28 Mei 2013   16:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:53 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tentu banyak kemungkinan jawabannya. Satu diantaranya adalah ini: karena sang politisi merasa dirinya lebih besar ketimbang partai, atau, lebih khusus lagi lebih besar ketimbang para pimpinan partai yang mengucilkannya.

Pada keadaan pertama, si politisi kutu loncat beranggapan bahwa yang diperjuangkannya adalah visi politik pribadinya. Bukan visi partai. Jadi, ia akan mencari partai yang paling banyak kesamaan dengan visi politik pribadinya itu. Ketika di tengah jalan ternyata jauh panggang dari pada api, maka ia akan beralih ke partai lain. Penulis berpendapat, politisi seperti Misbakhun dan Akbar Faisal masuk dalam kategori ini.

Pada situasi lain lagi, keadaan kedua, si politisi kutu loncat merasa dikucilkan oleh pimpinan partai, bukan karena alasan tak sevisi dengan partai sebagai alasan pindah partai. Politisi seperti Hary Tanoe masuk kelompok ini. Sekalipun Hary Tanoe beberapa kali mengatakan, lebih kurang, bahwa alasannya keluar dari partai dari NasDem karena Partai NasDem sudah berubah.

Dua situasi di atas bukanlah kondisi ideal. Idealnya, seorang politisi menetapkan dulu idealisme perjuangannya seperti apa, dan partai apa yang paling cocok untuk wadah perjuangan. Setelah masuk partai, maka partai lebih besar dari dirinya, artinya ia masuk dalam sistem partai. Ketika sudah di partai maka yang diperjuangkan adalah visi partai, garis politik partai. Bukan lagi visi pribadi.

Ketika terjadi dinamika politik di internal partai taroklah intrik dan segala rupa konflik maka si politisi menyadari sepenuhnya, bahwa ada pembagian kavling level-level dalam perpolitikan.

Ada 'level ideologi' dan ada 'level teknis'. Konflik dan intrik politik di internal partai adalah level teknis. Sekalipun ada konflik namun tak membuat si politisi mundur dari partai, kecuali dipecat. Alasannya, karena ideologi yang utama. Dan ideologi partai tidaklah berubah. Yang berubah mungkin adalah dinamika partai oleh pengurus dan kadernya saja.

Kondisi terakhir ini dapat ditemukan pada diri seorang Kwik Kian Gie dan Jusuf Kalla. Sekalipun keduanya sekarang nyaris tak berperan secara berarti atau "dikucilkan" partainya masing-masing---Kwik di PDI Perjuangan dan Kalla di Golkar---namun tidak menjadi alasan keduanya untuk jadi kutu loncat. Inilah contoh kecil dari visi seorang besar.

Anda punya pendapat lain?

(SP)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun