Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal Visi Pertanian Jokowi

27 April 2014   23:24 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:08 1362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat menulis ini Saya barusan saja baca berita Kompas.com (27/4) tentang enam gagasan Jokowi untuk masalah pertanian, bisa dibaca di sini. Keenam-enamnya bagus. Satu dari enam program itu adalah mempertahankan produktifitas lahan dengan melarang konversi lahan pertanian menjadi lokasi Industri, pertambangan, dll. Sebuah program yang ideal sekali.

Permasalahannya adalah, program untuk mengatasi masalah konversi lahan tersebut justru mengandung masalah yang serius di dalamnya.

Masalahnya adalah: rentang daya jangkau pemerintah terhadap konversi lahan demikian, lemah. Paling-paling pemerintah memperketat izin-izin dll administrasi terkait industri, pertambangan, mall dll di wilayah pertanian. Ini sudah lumayan, karena dapat mengatasi konversi lahan skala besar. Selebihnya, sulit.

Pasalnya, konversi lahan pertanian oleh pemilik lahan tunduk pada mekanisme hukum privat, berupa jual-beli, sewa-menyewa, gadai, dll. Itulah faktanya. Warga pemilik lahan sulit dilarang-larang karena adalah haknya untuk mengalihkan tanah miliknya. Ini jika konteksnya larang-melarang.

Masih mungkin program yang sangat mendesak ini dielaborasi lagi lebih detail dan multiguna. Ambil contoh, dengan memberikan insentif pada petani sehingga bertani memiliki nilai tambah dan layak dipertahankan sebagai mata pencaharian menjanjikan bagi rakyat petani tradisional sebagai mayoritas rakyat Indonesia.

Sebagai keluarga petani, saya tahu betul sulitnya para petani tetap mempertahankan produktifitas lahannya di tengah sulitnya pemasaran produk pertanian, persaingan dengan produk pertanian impor, mahalnya harga pupuk dan racun-racun yang diperlukan petani, dll. Belum lagi harga jual produk pertanian terus dilibas inflasi dari waktu ke waktu.

Itu semua yang juga perlu diperhatikan pemerintah sekarang. Komprehensif. Menyeluruh. Tidak hanya membujuk-bujuk atau melarang-larang tanpa solusi yang kongkrit dan menguntungkan buat para petani khususnya para petani tradisional.

Jika tidak, ya, konversi lahan pertanian akan terus saja terjadi. Bukan saja untuk kebutuhan primer perumahan dll, juga karena daya saing pertanian makin lemah. Petani makin banyak menjual lahannya untuk modal usaha lain, perdagangan, jasa dll yang lebih menjanjikan.

Saya menyaksikan dari tahun ke tahun lahan pertanian di belakang rumah, di Padang, terus berkurang. Umumnya dikonversi menjadi lahan perumahan. Konversi lahan serupa juga terjadi di banyak tempat yang Saya kunjungi di Sumbar, Bengkulu, Jambi, dll.

Salah satu kenangan dan kenyamanan Saya saat berjalan darat dari Padang ke Bukittinggi adalah melihat persawahan yang hijau ranau dan menguning permai pada saat mendekati masa panen. Namun pemandangan Indah ini akan terus berkurang dari tahun ke tahun.

Beberapa bulan terakhir, ketika berkendara dari Padang ke Bukittinggi, Saya melihat plang besar ditancapkan di tengah persawahan di Sicincin bertuliskan: "Di Lokasi Ini Akan Dibangun Mall Sicincin." Lahan persawahan nan permai yang menjadi pemandangan Saya bertahun-tahun kelak akan tinggal cerita, dilahap gedung perbelanjaan mewah.

(Sutomo Paguci)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun