Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Beda Catatan Anas dan Andi Mallarangeng

23 Februari 2014   20:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33 1653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_324174" align="aligncenter" width="645" caption="Admin/Ilustrasi(Dok.Kompas.com)"][/caption] Barusan selesai saya baca catatan harian Anas Urbaningrum yang ditayangkan asatunews.com. Dari sini tergambar kecerdasan sosial seorang Anas, salah satunya terlihat dari kecepatan dan keakuratan Anas mengingat nama-nama orang yang baru pertama kali dikenalnya baik di KPK maupun di Rutan Guntur. Sayang sekali, tulisan Anas tersebut berakibat fatal. Nama-nama pegawai KPK yang disebut-sebut Anas dikabarkan dimutasi oleh KPK ke tempat lain. Kemudian Anas diisolasi ke ruang tahanan lain dengan pembatasan kebebasan menulis seperti sebelumnya. Membaca catatan harian Anas tersebut, mau tak mau pikiran saya melayang pada catatan Andi Mallarangeng di kolom Analisis Viva.co.id, juga ditulis dari tahanan KPK. Rupanya, Andi produktif menulis. Tulisan tangan tentu saja. Berhubung tahanan dilarang pegang laptop, telepon genggam, atau iPad. Tulisan tangan tersebut diserahkan ke redaksi Vivanews kemudian diterbitkan setiap hari Rabu. Sudah barang tentu catatan Andi dan Anas berbeda pada pokok dan rinciannya. Tetapi yang paling saya ingat dari sisi perbedaan itu adalah, Andi sama sekali tak pernah menyinggung-nyinggung kasusnya dalam seri tulisannya tersebut, yang kebetulan telah saya baca di Vivanews. Apa belum? Entahlah. Andi malah menuliskan hal-hal yang sama sekali tak terkait dengan kasusnya, seperti karya John Lenon; Karl Mark; buku Inferno karya Dan Brown dan "matematika populasi" Thomas Malthus; budaya nrimo dalam kultur Jawa; mata uang digital (Bitcoin); pentingnya diaspora Indonesia di luar negeri; liburan dua minggu Obama di Hawai, yang dikaitkan dengan SBY (dan presiden-presiden Indonesia lainnya) yang sama sekali tak pernah terlihat liburan berminggu-minggu seperti Obama; "virus Presiden"; hubungan bentuk negara dan krisis ekonomi dan politik; menjadikan dunia sebagai surga dengan demokrasi; dll. Secara umum, tulisan-tulisan Andi tersebut terlihat apik, segar, dan sangat menyenangkan untuk dibaca. Tergambar keluasan minat dan pengetahuan seorang Andi. Saking menariknya, saya sampai nonstop membacanya hingga tuntas semua artikel. Selesai membaca, dengan sendirinya, timbul simpati pada seorang Andi Mallarangeng. Beda sekali saat membaca tulisan-tulisan Anas. Kemudian saya menduga-duga mengapa Andi tak membahas kasusnya. Mungkin karena Andi paham proporsionalitas pembelaan kasus hukum, yakni di pengadilan, bukan di media massa. Andi tak perlu menggalang opini publik untuk mendukungnya, mengasihani diri, meratap, dst. Andi seolah tak kawatir dengan kasusnya. Jauh berbeda dengan seorang Anas Urbaningrum. Jreng! Dalam catatan hariannya, di hari pertama ia ditahan, tanggal 10 Januari 2014, terbentang narasi Anas membahas kasusnya. Dengan gamblang Anas "menyerang" karakter Ketua KPK Abraham Samad. "Abraham adalah calon komisioner KPK yang menjelang fit & proper test di DPR datang ke Durensawit (kediaman Anas, pen.), tengah malam, untuk meminta dukungan. Abraham datang diantar Salahuddin Alam, teman saya di Partai Demokrat asal Sulawesi," tulis Anas. "Malam itu, tanpa saya minta, Abraham menyampaikan komitmen untuk saling dukung dan saling menjaga sebagai sesama anak muda. Ternyata, di dalam proses saya menjadi tersangka terdapat peran serius Abraham, yang bahkan menyampaikan harus pakai cara kekerasan. Istilah yang dipakai adalah "pakai kekerasan dikit". Tentu saja dalam kalimat itu terkandung makna memaksa atau pemaksaan atau keharusan. Entah maksudnya memaksa dari segi waktu atau dari segi substansi perkara yang disangkakan," lanjut Anas. Anas juga menyorot sprindik ganda yang dikeluarkan KPK. Selain juga membahas frase "dan atau proyek-proyek lainnya" dalam surat panggilan yang dilayangkan KPK pada dirinya. Diceritakannya, bagaimana proses tanya-jawab dirinya dengan penyidik KPK soal frase "dan atau proyek-proyek lainnya" tersebut. Bayangkan, berani-beraninya Anas membangun narasi yang menyerang dan mendelegitimasi KPK, disaat ia sedang ditahan oleh KPK. Seolah KPK bukan menegakkan hukum, bukan menjalankan undang-undang, melainkan sedang memerangi Anas dengan penuh sentimen pribadi. Sudah pasti KPK bereaksi keras. Terlihat, Anas begitu ceroboh dan amatiran. Apakah Anas tak terpikir bahwa saat ini ia sedang ditahan oleh KPK? Mengapa gagah-gagahan menjelek-jelekkan KPK. Kabarnya, tulisan Anas tersebut akan dibukukan sekitar Maret 2014 ini...tetap saja hal demikian ceroboh karena berarti Anas masih dalam kewenangan KPK. Banyak sekali blunder tak perlu yang dilakukan Anas. Dari sesumbar siap digantung di Monas sampai mendelegitimasi KPK dengan tulisan-tulisannya. "Jualan" Anas tersebut segera "dibeli" oleh KPK. Dalam meniti jalan; mata Anas seolah tertutup sehingga ia masuk lobang berkali-kali. Blunder terbarunya adalah mengkampanyekan diri sebagai "tapol" (tahanan politik). Benar-benar mengherankan---tapol apanya?! Kan sudah jelas tahanan kasus korupsi di KPK kok dibilang tapol. Seorang kawan diskusi teriak "pret!" menanggapi kampanye tapol itu. (Sutomo Paguci)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun