Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Abdullah Al-Jakarti Gemar Mendebat tapi Ogah Didebat?

14 Agustus 2012   00:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:49 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari Minggu (12/8) yang lalu saya berkunjung ke lapak La Rosa untuk menikmati hidangan bertajuk "Islam Lembaga atau Ajaran". Di kolom komentar saya membaca tanggapan Abdullah al-Jakarti yang menyerang pihak lain, yang disebutnya 'orang-orang liberal', dengan mengatakan "coba Mbak lihat di kitab-kitab tafsir ulama dari dulu tak ada yang menafsirkan selain itu, sampai munculnya orang-orang liberal di zaman sekarang...barulah ayat-ayat itu dijungkirbalikan dan diputar-putar seenaknya."

Saya sontak teringat awal kemunculan Abdullah al-Jakarti di Kompasiana. Ia menulis artikel-artikel sanggahan atau mendebat tulisan-tulisan Dewa Gilang. Hm, ya, kupikir beliau pasti juga mau berdiskusi atau setidaknya menjawab pertanyaan atau kritik jika disampaikan di kolom komentar yang sama.

Saya pun kemudian mengetik komentar, "kalau menuduh sebaiknya disebutkan sumbernya, dari mana dan siapa?". Ternyata tak ditanggapinya. Tunggu punya tunggu akhirnya muncul pesan di inbox saya yang menjawab kritik saya tersebut. Ha-ha-ha, rupanya Abdullah al-Jakarti ogah menjawab kritik atau pertanyaan saya (orang awam) secara terbuka di Kompasiana.

Saya kritik sikapnya itu via balasan inbox yang sama. Bahwa, konteks kritik atau pertanyaan (bernada mendebat) yang saya ajukan dalam kolom komentar lapak La Rosa, adalah supaya sumber (tuduhan) dapat ditelusuri. Bukan karena apa-apa. Sebaiknya komentar dijawab dengan komentar yang sama, tidak via inbox demikian. Maksud saya, supaya terjadi dialog yang mencerahkan bagi publik pembaca yang lebih luas. Bukankah etikanya, kalau melempar opini di ruang publik seperti media sosial maka harus siap dikritik atau didebat?

Atau, mungkin sekali ia tidak mau dialog atau didebat oleh 'orang awam'. Ya, siapa tahu saja. Sebab, de facto, Abdullah al-Jakarti tidak mau menjawab kritik atau pertanyaan via kolom komentar yang sama, ini malah menjawab via inbox. Saya juga mendasarkan pemahaman tersebut atas komentar ybs di lapak La Rosa seperti dikutip di bawah ini.

Bersabdalah Abdullah al-Jakarti di lapak La Rosa, "jika ia seorang ahli agama bicaralah tentang agama dan jangan berbicara apa yang tidak diketahui. Jika ia seorang ahli hukum, bicaralah tentang hukum dan jangan berbicara apa yang tidak ia ketahui."

Hmm, tak pelak Abdullah al-Jakarti sedang mempertahankan otoritas dari pihak lain yang coba-coba berbicara. Pasalnya, mustahil seorang muslim yang baik tidak mengetahui agamanya walau agak sedikit. Atau, seorang penulis aktif di Kompasiana mustahil tidak mengetahui hukum di negaranya walau agak sedikit.

Jam demi jam berlalu. Tahu-tahu artikel La Rosa tersebut mendapat tanggapan dari Zero Dark dengan artikel bertajuk "Islam Bukan Lembaga, Catatan untuk Pak Agung Webe" yang dipublish lewat tengah malam, Senin (13/8). Salah satu pencerahan yang kuperoleh dari artikel Zero Dark ini adalah kalimat sebagai berikut, yang seolah menjawab tesis Abdullah al-Jakarti tersebut di atas:

"...ketika Islam ditempatkan secara demokratis dan liberal. Artinya, agama (Islam) merupakan “lahan basah” yang semua orang punya hak dan kekuatan yang sama untuk memahami dan menafsirkannya, sehingga tidak ada lagi otoritas agama, tidak ada kompetensi ulama, tidak ada pula tanggung jawab antartafsiran. Setiap kepala dan diri kita adalah imam atas dirinya sendiri."

Selain itu, konstitusi UUD 1945 menjamin kebebasan orang untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Karenanya, saya sebagai seorang sarjana hukum tak berhak melarang atau menghimbau sekali pun agar orang bukan ahli hukum untuk tidak menulis tema hukum di Kompasiana. Itu hak setiap orang.

Toh, pada akhirnya, warga pembaca juga yang akan menilai dan menentukan. Seorang yang sakit gigi tidak akan datang berobat ke ahli ledeng sekalipun ahli ledeng itu fasih berbicara ilmu kedokteran gigi. Sama juga seorang warga yang memiliki masalah hukum dan hendak mengajukan gugatan ke pengadilan tak akan datang untuk meminta bantuan hukum kepada seorang tukang bangunan sekalipun tukang bangunan itu ngelotok bicara hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun