Jika hanya rakyat jelata dan butiran debu tak usahlah belagu menantang matahari, kecuali bila yakin tanpa keraguan sedikit pun diri ini benar secara hukum, karena kekuasaan hanya bisa dilawan dengan hukum.
Hari ini Arseto Suryoadji (AS) resmi ditahan Polda Metro Jaya, setelah kemaren ia menyerahkan diri dan langsung ditangkap, dengan sangkaan pasal 28 ayat 2 Jo Pasal 45 A ayat 2 UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan/atau Pasal 156 KUHP.
Menurut Polda Metro Jaya, sebagaimana dilansir dari Kompas.com (29/3/2018), pengenaan pasal-pasal tersebut pada diri AS bukan terkait undangan pernikahan keluarga Jokowi, melainkan dalam laporan ujaran kebencian (hatespeech) SARA salah satu organisasi keagamaan atas postingan AS di akun Facebooknya.
Dengan nada emosi dan jumawa, AS menuduh sana-sini melalui video yang kemudian viral tersebar luas di media sosial, dari menuduh undangan perkawinan Jokowi (maksudnya, anak Jokowi) diperjual-belikan Rp25 juta, menantang untuk dibully dan dilaporkan, meludah cuih!, sampai ujaran kebencian pada kelompok orang.
Tanpa menyerahkan diri pun, polisi dengan mudah akan menangkap orang seperti Arseto. Menjelang tahun politik, segala permainan kabar bohong dan ujaran kebencian menjadi perhatian serius pihak kepolisian. Lebih baik mencegah konflik horizontal dari pada kecolongan.
Polisi punya segalanya untuk menangkap orang yang disangka melanggar hukum, kekuatan kewenangan yang melekat pada jabatan dan kekuatan senjata untuk melumpuhkan siapapun yang melawan. Hanya jika posisi benar secara hukum maka segala kekuasaan polisi dapat dilawan.
Belakangan, masyarakat jadi tahu bahwa apa yang sudah diucapkan Arseto si anak pendeta yang konon mengaku pernah naik-turun surga, ini, penuh keraguan. Ia sibuk meralat ucapannya melalui serangkaian video yang diunggah di media sosial. Tapi itulah kejamnya dunia internet, sekali sesuatu di lempar ke dalamnya sulit untuk ditarik kembali.
Berbeda dengan Arseto, Hotel dan Griya Pijat Alexis memilih tidak melawan pada penguasa daerah, dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta, atas keputusan penutupan usahanya dengan tidak diperpanjang tanda daftar usaha pariwisata (TDUP) oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta.
Nampaknya Pemprov DKI Jakarta paham mereka dipermainkan pihak Hotel Alexis. Per tanggal 28 Maret 2018, Gubernur Jakarta Anies Baswedan resmi menutup semua unit usaha di Hotel Alexis, yang disertai ancaman akan mengerahkan aparat jika masih membandel.
Sampai di sini pihak Hotel Alexis belum ada tanda-tanda akan melawan secara hukum, dengan mengajukan gugatan ke pengadilan dengan dasar perbuatan melawan hukum oleh pengausa (onrechtmatige overheidsdaad), vide Pasal 1365 KUH Perdata, atau menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Walaupun terbuka celah hukum untuk mengajukan gugatan demikian.
Jangankan menggugat, melawan secara lisan melalui pernyataan pers saja, pihak Hotel Alexis tidak melakukannya. Hotel Alexis justru mengumumkan pernyataan permintaan maaf kepada masyarakat yang dipampang di muka hotelnya. Nampak Hotel Alexis pasrah saja pada apapun yang diputuskan pemerintah daerah padanya.
Sebagai pengusaha tentu ada hitung-hitungannya. Mana yang lebih menguntungkan secara bisnis, mencari celah untuk terus berbisnis tanpa harus melawan penguasa atau berperang di pengadilan.
Berperang di pengadilan akan membuka babak baru kehebohan yang banyak tak disukai kalangan pebisnis, menguras uang dan energi.
Di samping itu, berperkara di pengadilan otomatis akan membuka bukti-bukti yang kadang riskan dibuka ke publik, sedangkan perkaranya sendiri belum tentu dapat dimenangkan. Masuk akal banyak pengusaha lebih memilih penyelesaian perkara melalui forum arbitrase yang lebih tertutup.(*)
SUTOMO PAGUCI