Mohon tunggu...
Sutomo Paguci
Sutomo Paguci Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Advokat, berdomisili di Kota Padang, Sumatera Barat | Hobi mendaki gunung | Wajib izin untuk setiap copy atau penayangan ulang artikel saya di blog atau web portal | Video dokumentasi petualangan saya di sini https://www.youtube.com/@sutomopaguci

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Inilah Penyelundupan Hukum yang "Bugil"

13 Oktober 2012   04:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:52 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung," tukuk Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Sama sekali tidak disebut jaksa penuntut umum di sana!

Rasionya adalah, jaksa penuntut umum telah diberi kesempatan oleh sistem hukum acara pidana sejak mulai tingkat pertama sampai terakhir atau hingga putusan berkekuatan hukum tetap untuk membuktikan dan memperjuangkan dakwaannya. Taroklah terdakwa hanya divonis 5 tahun, sedangkan jaksa maunya divonis 15 tahun, maka sistem hukum telah memberi kesempatan jaksa untuk membuktikan dakwaannya. Maka, ketika putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, giliran hak terpidana dan ahli warisnya yang muncul. Giliran jaksa sudah habis.

Memang, akhir-akhir ini sudah jarang terdengar jaksa ajukan PK. Akan tetapi beberapa pihak terus saja mendorong-dorong jaksa mengajukan PK. Sebut saja dalam kasus Munir dan kasus gembong narkoba Hangky Gunawan.

Andaikata pun ada muatan perasaan keadilan korban dan masyarakat dalam contoh kasus di atas, akan tetapi "kegagalan" jaksa tidak selayaknya dibebankan kepada terpidana dan ahli waris dari terpidana. Begitulah keberimbangan perlakuan perlu diberikan secara proporsional antara jaksa, terpidana, dan ahli waris terpidana. Jangan sudah jelas-jelas jaksa yang gagal tapi kegagalan jaksa ini dipikulkan kepada terpidana dan ahli warisnya. Enak jaksanya dong. Itu tidak adil!

Larangan penangguhan penahanan

Dalam praktik peradilan acap kali ditemui kebijakan internal kejaksaan, kepolisian, KPK dan pengadilan yang melarang penangguhan penahanan. Ini sungguh pelanggaran hukum yang nyata. Bagaimana mungkin kebijakan internal institusi bisa mengalahkan undang-undang. Pasalnya, undang-undang sudah menegaskan bahwa penangguhan penahanan boleh-boleh saja asalkan memenuhi syarat secara hukum.

Ambil contoh Surat Edaran Jaksa Agung RI No 001/A/JA/02/2006 tertanggal 9 Februari 2006, semasa Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang memerintahkan semua kepala kejaksaan negeri dan kejaksaan tinggi seluruh Indonesia untuk tidak menerapkan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) KUHAP.

"Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 22," tegas Pasal 23 ayat (1) KUHAP.

Kemudian Pasal 31 ayat (1) KUHAP menyatakan, "Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan."

Surat edaran di atas jelas dan tandas melawan hukum. Bagaimana mungkin surat edaran mengesampingkan undang-undang (KUHAP). Sedangkan surat edaran tidak ada dalam hirarki peraturan perundang-undangan berdasarkan UU No 10 Tahun 2004 yang diganti UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan surat edaran jauh levelnya di bawah undang-undang.

Sebetulnya masih ada beberapa lagi penyelundupan hukum dalam praktik peradilan. Namun karena akan membuat tulisan menjadi terlalu panjang maka akan ditulis dalam kesempatan yang berbeda.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun