Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Inilah Penyelundupan Hukum yang "Bugil"

13 Oktober 2012   04:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:52 567 4
Publik tak jarang memaknai korupsi sebagai mencuri uang negara. Padahal tidak itu saja. Ada "korupsi" dalam bentuk lain seperti menyelundupkan pelaksanaan peraturan. Dimana sudah jelas undang-undang bilang A tapi yang dilaksanakan B. Alasannya macam-macam---demi keadilan, terobosan hukum, dan sebagainya. Padahal si pelaksana tidak dalam posisi membentuk atau menilai hukum melainkan melaksanakannya.

Berikut ini diantara penyelundupan hukum khususnya hukum acara pidana yang dilakukan secara telanjang bulat alias "bugil". Tidak ada perasaan sungkan atau malu sama sekali berbugil ria menabrak undang-undang.

Kasasi terhadap putusan bebas

Ketika terdakwa terbukti tidak bersalah di pengadilan dan kemudian divonis bebas atau lepas oleh hakim, jaksa penuntut umum nyaris selalu melakukan upaya hukum kasasi. Padahal, sudah jelas dan gamblang hukum acara pidana di Indonesia melarang keras upaya hukum banding dan kasasi terhadap putusan yang membebaskan atau melepaskan terdakwa (Pasal 67 dan 244 UU No 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, jo Pasal 26 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

"Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk minta banding terhadap putusan Pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dan segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan Pengadilan dalam acara cepat," kata Pasal 67 KUHAP.

"Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa dan Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas," demikian ditegaskan Pasal 244 KUHAP.

Praktik peradilan kasasi terhadap putusan bebas selalu didasarkan pada Putusan Mahkamah Agung No K/275/Pid/1983 dan Kepmenkeh RI No. M-14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Sedangkan Putusan MA dan Kepmenkeh tersebut sangat kontroversial karena mengesampingkan hukum acara yang diatur undang-undang. Logika saja, masak aturan selevel Keputusan Menteri bisa-bisanya mengesampingkan undang-undang (KUHAP).

Menjadi kontroversial mana kala hakim dan jaksa menggali atau mengesampingkan hukum acara (hukum formil). Pasalnya, hukum acara menganut asas lex stricta, apa yang tertulis adalah mengikat pasti dan tidak bisa ditafsirkan secara luas selain yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang, sehingga dikatakan di luar yang tertulis adalah bukan hukum acara alias tidak boleh dilakukan dalam perspektif beracara.

Berbeda halnya dengan hukum materiel. Aparatur hukum khususnya hakim bisa menafsirkan hukum materiel. Tidak dengan hukum formil (hukum acara).

Peninjauan Kembali (PK) oleh jaksa

Demikian pula halnya dengan ketentuan hukum acara perihal peninjauan kembali (PK). Dalam praktik banyak disimpangi atau dilanggar oleh jaksa penuntut umum. Sudah jelas-jelas bahwa PK merupakan hak terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan atau tidak. Eh, si jaksa malah gagah-gagahan mengajukan PK.

"Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung," tukuk Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Sama sekali tidak disebut jaksa penuntut umum di sana!

Rasionya adalah, jaksa penuntut umum telah diberi kesempatan oleh sistem hukum acara pidana sejak mulai tingkat pertama sampai terakhir atau hingga putusan berkekuatan hukum tetap untuk membuktikan dan memperjuangkan dakwaannya. Taroklah terdakwa hanya divonis 5 tahun, sedangkan jaksa maunya divonis 15 tahun, maka sistem hukum telah memberi kesempatan jaksa untuk membuktikan dakwaannya. Maka, ketika putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, giliran hak terpidana dan ahli warisnya yang muncul. Giliran jaksa sudah habis.

Memang, akhir-akhir ini sudah jarang terdengar jaksa ajukan PK. Akan tetapi beberapa pihak terus saja mendorong-dorong jaksa mengajukan PK. Sebut saja dalam kasus Munir dan kasus gembong narkoba Hangky Gunawan.

Andaikata pun ada muatan perasaan keadilan korban dan masyarakat dalam contoh kasus di atas, akan tetapi "kegagalan" jaksa tidak selayaknya dibebankan kepada terpidana dan ahli waris dari terpidana. Begitulah keberimbangan perlakuan perlu diberikan secara proporsional antara jaksa, terpidana, dan ahli waris terpidana. Jangan sudah jelas-jelas jaksa yang gagal tapi kegagalan jaksa ini dipikulkan kepada terpidana dan ahli warisnya. Enak jaksanya dong. Itu tidak adil!

Larangan penangguhan penahanan

Dalam praktik peradilan acap kali ditemui kebijakan internal kejaksaan, kepolisian, KPK dan pengadilan yang melarang penangguhan penahanan. Ini sungguh pelanggaran hukum yang nyata. Bagaimana mungkin kebijakan internal institusi bisa mengalahkan undang-undang. Pasalnya, undang-undang sudah menegaskan bahwa penangguhan penahanan boleh-boleh saja asalkan memenuhi syarat secara hukum.

Ambil contoh Surat Edaran Jaksa Agung RI No 001/A/JA/02/2006 tertanggal 9 Februari 2006, semasa Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang memerintahkan semua kepala kejaksaan negeri dan kejaksaan tinggi seluruh Indonesia untuk tidak menerapkan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) KUHAP.

"Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 22," tegas Pasal 23 ayat (1) KUHAP.

Kemudian Pasal 31 ayat (1) KUHAP menyatakan, "Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan."

Surat edaran di atas jelas dan tandas melawan hukum. Bagaimana mungkin surat edaran mengesampingkan undang-undang (KUHAP). Sedangkan surat edaran tidak ada dalam hirarki peraturan perundang-undangan berdasarkan UU No 10 Tahun 2004 yang diganti UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan surat edaran jauh levelnya di bawah undang-undang.

Sebetulnya masih ada beberapa lagi penyelundupan hukum dalam praktik peradilan. Namun karena akan membuat tulisan menjadi terlalu panjang maka akan ditulis dalam kesempatan yang berbeda.(*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun