Ambil contoh, ada hakim nyeletuk memberi opini yang bertendensi terdakwa telah bersalah: "Loh, itu tidak boleh 'kan?!" katanya dengan keras nyaris membentak pada terdakwa. Mestinya, hakim memberikan pendapat soal bersalah atau tidaknya terdakwa di forum pembacaan putusan, bukan di luar itu.
"Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa," tegas Pasal 158 KUHAP.
Ada lagi kejadian seorang "ajudan" seorang hakim senior (sopirnya) memberi "isyarat" minta uang sebelum putusan dibacakan. Di peristiwa begini dapat diasumsikan bahwa si "ajudan" merupakan perpanjangan tangan dari si bos (hakim). Agak sulit dipahami "ajudan" berani-beraninya bermain api berbahaya demikian tanpa sepengetahuan atau persetujuan si bos.
Terakhir tapi tak boleh dilupakan, bahwa sekalipun kepercayaan publik pada lembaga hukum masih rendah, namun ada secercah harapan bahwa masa depan benteng terakhir keadilan (pengadilan) tetap terjaga di tangan aparatur hukum si orang-orang muda. Selebihnya terbangun dari profesionalitas dan visi antikorupsi dari aparatur hukum lainnya: polisi, jaksa dan advokat/pengacara.
(Sutomo Paguci)