Bagi pecinta Dunia kelautan, tentu sudah tidak asing dengan Museum Bahari di kawasan Jakarta Kota. Bertepatan dengan Hari Maritim tahun ini (8 Oktober), Wisata Kreatif Jakarta (WKJ) berkolaborasi dengan Koteka, komunitas traveler Kompasiana mengadakan event kunjungan ke Museum Maritim.
Kami berangkat menuju Museum Maritim dari stasiun Tanjung Priok dengan berjalan kaki santai, melalui jalan Enggano. Sebenarnya jarak dari stasiun ke jalan Pasoso / pelabuhan Tanjung Priok tidak terlalu jauh, hanya saat itu matahari sedang terik-teriknya. Apalagi di kawasan pelabuhan jarang terdapat mini market atau warung, maka untuk menghindari  dehidrasi, peserta banyak yang menyerbu pedagang kopi keliling yang ada atau minum dari bekal air minum yang dibawa dari rumah.
Kehadiran kami yang jalan kaki ini membuat panik pihak pengelola museum (PT. Pelindo), karena kawasan pelabuhan termasuk kawasan berbahaya, banyak truck tronton bermuatan container lalu lalang.
Padahal tujuan utama jalan kaki selain melihat kiri kanan jalan yang penuh container, kami juga ingin menyaksikan simbol kerukunan beragama di kawasan pelabuhan ini. Tepat di pertigaan jalan Pasoso - Enggano di seberang jalan, terdapat sebuah masjid, Masjid Al Muqarabien dan sebuah gereja Kristen Protestan, Gereja Mahaikam Injili Sangihe Talaud (GMIST), yang terletak berdampingan, hanya dipisahkan tembok saja  Dalam pelaksanaan ritual keagamaan, keduanya saling bertoleransi sehingga tidak saling mengganggu satu sama lain.
Setibanya di kompleks PT Pelindo, kami langsung diarahkan ke gedung megah, dengan tulisan Museum Maritim Indonesia di bagian depan.
Di bawah tangga, kami menemukan replika kapal. Kami berdiri pada sebuah lantai kaca yang dibawahnya terdapat lantai asli  Peninggian lantai ini dikarenakan dulu museum ini pernah tergenang air.
Setelah peserta lengkap, kami dibagi menjadi dua rombongan dengan masing-masing seorang pemandu lokal.
Masing-nasing masuk ke ruang pameran, satu rombongan ke pintu Barat, dan rombongan lainnya ke pintu Timur.