Mohon tunggu...
Sutiono Gunadi
Sutiono Gunadi Mohon Tunggu... Purna tugas - Blogger

Born in Semarang, travel-food-hotel writer. Movies, ICT, Environment and HIV/AIDS observer. Email : sutiono2000@yahoo.com, Trip Advisor Level 6 Contributor.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kapan Bisa Merdeka Pendidikan?

15 Agustus 2020   09:02 Diperbarui: 15 Agustus 2020   08:59 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banyak anak (sumber: janetheis.com)

Masihkah Anda memegang prinsip banyak anak banyak rezeki? Anak sering dikatakan sebagai titipan Tuhan. Akibatnya ada keluarga yang sangat menginginkan anak malahan kesulitan mendapatkan momongan.

Sudah test kemana-mana hasilnya kedua pasutri dinyatakan sehat dan normal artinya tidak mandul. Akibatnya harus sering periksa kepada dokter khusus guna menghasilkan sebuah kehamilan. Sering disebut dengan istilah "anak mahal".

Sebaliknya mereka yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja bahkan boleh disebut kurang mampu malahan anaknya bejibun. Bahkan pasutri yang tinggal di rumah kontrakan di pinggir rel kereta api memiiliki banyak anak.

Satu anak baru lahir eh tidak lama kemudian anak berikutnya sudah "nongol" lagi. Banyak orang yang meledek dengan sebutan ya pantas mereka banyak anak, karena hiburan satu-satunya bagi pasutri itu hanyalah seks.

Apalagi didukung rumah di pinggir rel kereta api, tiap ada kereta kewat terbangun dan ngeseks lagi. Itulah sebabnya anak yang dilahirkan beruntun seperti tidak ada habis-habisnya.

Semula orang hanya menganalisa hal ini adalah fenomena di negara miskin di Asia dan Afrika. Namun ternyata hal serupa juga terjadi d Amerika Serikat, Kanada dan Eropa yang merupakan negara kaya.

Kalau ditilik lebih dalam lagi keluarga yang banyak anak pada umumnya, tingkat pendidikannya kurang. Akibatnya mereka memang tidak pernah memikirkan biaya makan minum, biaya sekolah, biaya pangan dan papan untuk masa depan anak-anzknya. Pola berpikir mereka hanya sesaat dan tidak berpikir jangka panjang.

 Mereka akhirnya hidup seadanya, mungkin makan tiga kali sehari kalau sedang ada rezeki. Kalau tidak ada rezeki sering kali orang tua rela berpuasa menahan lapar yang penting anak-anaknya kenyang.

Makanpun kadang ala kadarnya, kalau sedang banyak rezeki boleh makan dengan lauk ikan atau daging, sebaliknya bisa saja makan dengan kecap atau garam saja.

Bila untuk makan saja susah, papanpun akhirnya seadanya orang tua dan anak tidur tanpa alas kasur atau kalau ada tikar sudah bagus, kalau terpaksa karton bekas kemasan bisa dipakai untuk menahan dingin lantai rumah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun