Di tengah keluhan masyarakat soal mahalnya harga kebutuhan pokok dan biaya pendidikan, muncul ironi baru: mobil pribadi makin banyak, bukan makin sedikit.
"Sekarang, punya kendaraan bukan soal kebutuhan, tapi gengsi," ujar Rizka (28), pegawai swasta yang setiap hari menembus kemacetan dari Lubeg ke Simpang Haru.
"Kalau naik angkot, orang lihat kita belum 'berhasil'. Kalau naik motor atau mobil, kelihatan 'naik kelas'."
Fenomena ini bukan unik di Padang. Tapi di kota yang dulu identik dengan gotong royong, perubahan semacam ini terasa lebih tajam karena bertentangan dengan nilai-nilai sosial yang lama.
Ojek Daring dan Trans Padang: Solusi yang Tak Sepenuhnya Mengobati
Ketika angkot kian ditinggalkan, dua pemain baru muncul: ojek daring dan Trans Padang.
Bagi sebagian orang, ojek daring adalah penyelamat mobilitas. Praktis, cepat, bisa dipesan dari rumah. Namun bagi para sopir angkot, itu tanda kehancuran.
"Penumpang sekarang lebih suka dijemput. Kalau dulu mereka tunggu kami di pinggir jalan," kata Ujang (45), sopir angkot rute Tabing--Pasar Raya.
Sementara itu, Trans Padang hadir dengan sistem modern, tarif tetap, dan rute teratur. Tetapi jumlah armada yang terbatas dan jadwal yang tak selalu tepat waktu membuatnya belum bisa menggantikan peran angkot sepenuhnya.
"Trans Padang itu bagus idenya, tapi tidak cukup banyak. Kalau mau mengejar efisiensi, ya angkot harusnya dibina, bukan dibiarkan mati," ujar Rahmawati, dosen sosiologi Universitas Negeri Padang.
Dalam satu sisi, kita melihat modernisasi transportasi. Di sisi lain, terjadi penghapusan perlahan terhadap ekonomi rakyat kecil. Sopir angkot, tukang tambal ban, penjual bensin eceran, semua terdampak.
Sekolah dan Macet: Cermin Kelas Sosial Baru
Setiap pagi dan sore, Jalan Sudirman di depan SMP Negeri 1 Padang adalah potret kecil dari pergeseran sosial. Dulu, murid datang berombongan naik angkot. Kini, mobil pribadi dan ojek daring memadati trotoar.