"Kuto Gawang dibangun dari balok kayu keras yang ditanam sedalam fondasi batu; tidak mudah ditembus, bahkan oleh meriam."
Prof. Dr. Djajadiningrat mencatat bahwa Palembang merupakan satu dari sedikit kesultanan di Sumatera yang mempertahankan sistem pertahanan maritim dan sungai dengan teknologi adaptif (Djajadiningrat, Kesultanan di Pesisir Timur Sumatra, 1960).
Selain sumber-sumber kolonial dan nasional, narasi lokal mengenai Kuto Gawang juga diperkuat oleh pandangan sejarawan Palembang, Djohan Hanafiah, yang selama puluhan tahun meneliti sejarah kota tua Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam.
Dalam berbagai wawancara dan seminar budaya, Djohan Hanafiah menegaskan bahwa Kuto Gawang bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga pusat pertahanan dan peradaban sungai. Ia menyebutkan bahwa:
“Kuto Gawang bukan hanya keraton, tapi benteng strategis yang berdiri di tengah simpul perairan. Lokasi itu dipilih karena pertahanan alami sungai-sungai kecil dan kanal. Kuto ini dikelilingi air dan jalur perdagangan.”(Djohan Hanafiah,1987)
Palembang Lama dengan Keraton Kuto Gawang sebagai intinya merupakan kota-benteng maritim yang mencerminkan kearifan lokal dalam pertahanan dan pusat kekuasaan. Lokasinya yang strategis, sistem pertahanan sungai, serta interaksi internasional menjadikannya sebagai salah satu contoh kota pelabuhan Melayu yang canggih dan bukti kemampuan adaptif arsitektur lokal terhadap ancaman kolonial abad ke-17. Keberadaannya menegaskan posisi Palembang sebagai kekuatan penting di jalur rempah dan pelayaran regional.
Dalam catatan sejarah, Keraton Kuto Gawang berbentuk persegi panjang 700 depa (±1100 m) dan dikelilingi oleh dinding dari balok kayu unglen atau kayu besi berukuran 30x30 cm setinggi ±7,25 meter. Dinding ini diperkuat oleh tembok tanah bagian dalam tempat meriam-meriam pertahanan diletakkan.
Kuto Gawang dibangun di antara tiga sungai penting: Sungai Rengas (di tengah), Sungai Tali Gawe (timur), Sungai Buah (barat). Ketiganya memisahkan benteng dari daratan sekitarnya dan memberi keuntungan alami dari segi pertahanan.
Di dalam keraton terdapat: Istana Pageran sebagai pusat pemerintahan, Masjid Agung sebagai pusat keagamaan dan pembinaan umat, Kompleks pemukiman bangsawan dan elite lokal. Sedangkan pendatang lokal dari Nusantara membangun kawasan rumah di luar sisi kiri dan sisi kanan yang dipisahkan oleh pembatas sungai tersebut diatas.
Tiga baluarti/bastion dibangun di sisi Sungai Musi, satu di antaranya menggunakan batu bata dan dua lainnya dari kayu. Bastion ini dilengkapi dengan: Meriam-meriam besar dan lelo, Sistem pertahanan sungai yang ditopang oleh benteng tanah.