PENDAHULUAN
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kecil, seperti Baitul Maal wat Tamwil (BMT), memainkan peran strategis dalam mendorong inklusi keuangan di Indonesia, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah dan pelaku usaha mikro. Keberadaan BMT dan LKS sejenis telah menjadi solusi finansial alternatif berbasis prinsip syariah yang tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial dan spiritual. BMT dinilai lebih efisien dalam menjangkau masyarakat lapisan bawah karena struktur operasionalnya yang sederhana, pendekatan personal, dan kemampuannya beradaptasi dengan kebutuhan lokal (Ascarya & Yumanita, 2017). Selain itu, tingkat aksesibilitasnya yang tinggi memungkinkan masyarakat yang sebelumnya tidak tersentuh layanan perbankan formal untuk memperoleh pembiayaan dan layanan keuangan yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman (Antonio, 2021).
Namun demikian, keberhasilan peran tersebut tidak lepas dari tantangan struktural dan kelembagaan yang hingga saat ini masih menghambat optimalisasi operasional lembaga keuangan syariah skala kecil tersebut. Salah satu tantangan utama adalah adanya disharmoni regulasi yang mengatur LKS kecil, yang berasal dari berbagai otoritas, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Koperasi dan UKM, serta Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Ketidaksesuaian atau bahkan tumpang tindih antara peraturan-peraturan tersebut menciptakan ambiguitas dalam penerapan prinsip syariah di tingkat operasional. Taufiq (2020) menyebutkan bahwa peraturan yang tidak sinkron antara berbagai otoritas pengatur dapat menghambat jalannya kegiatan LKS serta menyulitkan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan sesuai prinsip syariah.
Tidak hanya itu, lemahnya fungsi DPS di LKS kecil menjadi perhatian yang tidak kalah penting. Idealnya, DPS berperan sebagai pengawas yang memastikan bahwa seluruh aktivitas keuangan dan operasional lembaga sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Namun dalam praktiknya, banyak DPS di LKS kecil belum dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Putri Pratama (2020) menemukan bahwa faktor penyebab utama lemahnya peran DPS adalah rendahnya kompetensi dan minimnya pelatihan di bidang keuangan syariah. Selain itu, keterbatasan sumber daya yang dimiliki LKS kecil membuat DPS seringkali bergantung pada informasi dari manajemen, tanpa melakukan verifikasi independen, yang menyebabkan pengawasan menjadi lemah dan tidak obyektif.
Akibat dari disharmoni regulasi dan lemahnya fungsi DPS tidak dapat dianggap sepele. Keduanya berdampak langsung terhadap kepatuhan syariah dan stabilitas operasional LKS kecil. Ketidakjelasan regulasi dan lemahnya pengawasan syariah membuka celah terjadinya praktik keuangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, seperti praktik riba terselubung, gharar (ketidakpastian), dan maysir (spekulasi). Jannah dan Nisa (2024) menekankan bahwa integritas syariah hanya dapat dijaga jika DPS menjalankan perannya dengan ketat dan konsisten melalui pengawasan berkala dan evaluasi atas setiap produk dan layanan yang ditawarkan oleh LKS.
Pengawasan syariah yang lemah juga dapat berdampak negatif terhadap performa lembaga secara keseluruhan. Putri Pratama (2020) mencatat bahwa penyimpangan dalam aktivitas operasional akibat lemahnya fungsi DPS berpotensi menimbulkan risiko hukum dan kerugian finansial yang tidak sedikit bagi LKS. Ketika kepercayaan masyarakat terhadap integritas syariah sebuah lembaga menurun, maka bukan hanya reputasi yang terdampak, tetapi juga keberlangsungan lembaga itu sendiri.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, diperlukan solusi yang bersifat komprehensif dan kolaboratif. Salah satu rekomendasi utama adalah perlunya harmonisasi regulasi antar otoritas pengawas agar tercipta kejelasan hukum dan standarisasi kepatuhan syariah yang berlaku universal di seluruh jenis LKS. Di sisi lain, penguatan kapasitas dan peran DPS juga harus menjadi prioritas. Taufiq (2020) merekomendasikan adanya peningkatan pelatihan dan sertifikasi bagi anggota DPS serta pembentukan standar kompetensi nasional agar pengawasan yang dilakukan tidak hanya formalitas tetapi berdampak nyata terhadap keberlanjutan syariah lembaga. Selain itu, penguatan koordinasi lintas otoritas dan DSN-MUI sangat penting agar terjadi sinergi dalam menetapkan kebijakan dan pengawasan yang mendukung pertumbuhan dan kepatuhan syariah LKS kecil secara berkelanjutan.
ANALISIS
Regulasi pengawasan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia melibatkan beberapa lembaga, seperti Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketidaksesuaian antara regulasi DSN-MUI dan OJK sering kali menyebabkan kebingungan dalam implementasi operasional LKS kecil, mengganggu efektivitas pengawasan dan kepatuhan syariah. Misalnya, tumpang tindih kewenangan antara OJK dan Kementerian Koperasi dalam pengawasan koperasi syariah menambah ketidakjelasan regulasi, yang berdampak pada kualitas pengawasan dan kepatuhan syariah. Penelitian menunjukkan bahwa disharmoni regulasi ini berpengaruh terhadap efisiensi dan aksesibilitas layanan LKS yang sesuai dengan prinsip syariah (Fahrudin et al., 2021).
Dewan Pengawas Syariah (DPS) memiliki peran vital dalam menjaga kepatuhan syariah di LKS. Namun, beberapa faktor, seperti keterbatasan kompetensi dan independensi DPS, dapat menghambat efektivitas pengawasan. DPS yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang fiqh muamalat dan ekonomi keuangan syariah, serta terpengaruh oleh hubungan dengan manajemen atau pemilik lembaga, dapat mengurangi objektivitas dalam pengawasan. Penelitian oleh Fauzia et al. (2020) menekankan pentingnya perubahan struktural dalam DPS untuk meningkatkan efektivitas pengawasan di bank syariah. Selain itu, keterbatasan wewenang dan sumber daya DPS juga menghambat pelaksanaan tugas mereka, terutama dalam memantau operasional harian dan memastikan kepatuhan syariah di LKS. Untuk itu, optimalisasi peran DPS di Lembaga Keuangan Mikro Syariah sangat diperlukan (Wahyuningsih & Adiwibowo, 2022).
Disharmoni regulasi dan lemahnya fungsi DPS dapat menyebabkan pelanggaran prinsip syariah, seperti produk atau layanan yang mengandung unsur bunga atau denda yang tidak sesuai. Hal ini dapat merusak citra bank syariah di mata publik, seperti yang dikemukakan oleh Pratama & Anwar (2021), yang menyatakan bahwa pengabaian terhadap kepatuhan syariah berpotensi mengurangi kepercayaan publik. Pelanggaran tersebut juga dapat berisiko hukum, merusak reputasi LKS, dan mempengaruhi kepercayaan nasabah serta kinerja keuangan. Dalam jangka panjang, pelanggaran syariah ini dapat menimbulkan akibat hukum terhadap tanggung jawab DPS (Afandi & Ibrahim, 2021).