Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Money

Taxi Biru

5 Agustus 2011   01:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:05 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekian tahun lalu, suatu majalah ibukota yang sekarang sudah tidak terbit, mengangkat artikel wawancara dengan pemilik dan CEO taxi Blue Bird (BB), ketika itu, almarhumah ibu Djoko Sutono. Salah satu pertanyaan nakal yang diajukan si pewancara, yang melekat dalam ingatan saya sampai kini adalah : "Ibu, ada kesan melekat yang  mengatakan bahwa Blue Bird rasialis.  Mayoritas pengemudi BB adalah orang Jawa". Ibu Djoko nampak surprise dengan gelitikan pertanyaan tadi, tapi tak lama kemudian,  dengan tangkas, kira-kira beliau menjawab : "Bukan, BB tidak  rasialis. Kami tidak pernah berpikir untuk bertindak rasialis. Semua praktek bisnis yang kami jalankan selalu berdasarkan kebutuhan operasi perusahaan dan rasional.  Kami hanya ingin menerapkan prinsip the right man on the right place.  Industri taxi adalah bisnis pelayanan, dan budaya melayani yang kental, terkesan lebih melekat pada budaya Jawa". Jawaban itu saya rasa bukan hanya brilian, bukan hanya menampik tuduhan rasialis, dan seolah-olah keluar spontan dari dalam diri ibu Djoko, tapi sekaligus menegaskan pentingnya  konsep melayani dan kepuasan pelanggan di BB. Kesuksesan BB dilandasi  konsep bahwa "Pelanggan adalah raja", dan  "Raja harus dilayani dan dipuaskan". Tanpa merajakan pelanggan, tanpa budaya melayani, tanpa mengincar kepuasannya, maka industri jasa pada umumnya dan  taxi khususnya, tidak akan tahan lama.  Lebih dari itu, BB bahkan telah menandai bahwa kompetensi seseorang, perilaku organisasi dan praktek yang terjadi di dalamnya, harus selaras dengan budaya para anggotanya. Tak heran jika BB selalu menduduki The best taxi in the city, bahkan di Indonesia,  sampai hari ini. Taxi biru atau kuning, Jawa atau luar-Jawa,  pelanggan atau pelayan, BB telah memilih konsep yang tepat untuk membesarkan bisnisnya. Saya tidak tahu, darimana ibu Djoko Sutono merujuk dan menerapkan  teori itu, tetapi ternyata beliau bukan orang pertama yang menerapkan konsep ini. Paling tidak, Toyota dikenal sebagai penemu dan industri yang mempopulerkan pemikiran bahwa apabila anda mau tetap exist, anda harus memelihara pelanggan agar mereka loyal dan puas terhadap anda. Toyota secara sederhana dan konsisten selalu menekankan bahwa dalam suatu organisasi, apalagi organisasi-laba, konsep kepuasan pelanggan harus berada di dalam pola-pikir setiap anggotanya. Dalam buku The Toyota Way, karangan Jeffrey K. Liker (2006)  disebutkan bahwa "Memuaskan pelanggan dan sekaligus menghilangkan pemborosan (waste)" merupakan prinsip-manajemen yang harus selalu dipegang. Setelah itu, baru prinsip kedua, yaitu "Memelihara atmosfer pertumbuhan (growth) dan pembelajaran (learning), berkelanjutan. Toyota dan BB mungkin contoh industri yang relatif mudah untuk mengidentifikasi pelanggannya. Toyota jelas memilih konsumen mobil sebagai pelanggannya sedangkan BB menandai penumpang taxi adalah pihak yang harus dilayani dan dipuaskan. Toyota dan BB memang kemudian besar karena secara konsisten menjalankan konsep itu.  Tetapi banyak orang yang mungkin tidak tahu adegium ini, tetapi menjalankannya dengan telaten, sabar dan terus-menerus, dan sukses.  Mereka melakukan secara intuitif, common sense  dan spontan, dan dilakukan dengan konsisten.  Salah satu contoh kisah yang layak saya angkat disini adalah cerita mengenai Koh Aming dengan bengkel sepedanya. 16 tahun lalu, Koh Aming dan keluarganya hijrah dari suatu kampung di  dekat Singkawang, Kalimantan ke Pondok Aren, Tangerang Selatan.  Dia menyewa kamar kontrakan di gang kecil yang dijejali 5 orang, yaitu  Koh Aming,  isterinya dan  3 anak-anak lelakinya.  Tak sampai sebulan mereka mengalami "jet-leg" dari Singkawang, entah mendapat wangsit dari mana, Koh Aming, yang ketika itu bahkan tidak fasih berbahasa Indonesia, membuka bengkel sepeda kecil di pinggir jalan besar, tak jauh dari bedeng, tempat tinggal mereka.  Peralatannya sangat sederhana, sementara kemampuan mereka menjadi teknisi atau montir sepeda masih sangat minimal. Saya masih ingat, ketika saya harus kesana untuk memperbaiki kerusakan ringan sepeda anak saya, mereka lebih banyak bengong dan saya harus turun tangan untuk melakukannya sendiri.  Namun, satu hal yang saya harus angkat topi, adalah cara bagaimana mereka menerima saya sebagai pelanggan.  Mereka langsung menyuguhi segelas minuman air mineral, dan bercerita panjang lebar tentang perjalanan keluarga itu dari Kalimantan sampai terdampar di Jakarta.  Nada suaranya terdengar tulus, ramah dan mengandung rona persahabatan, sampai akhirnya saya menanyakan berapa saya harus bayar ongkos reparasi sepeda anak saya.  "Tak usah pak", katanya terbata-bata.  "Bapak malah ngajari kami mereparasi  sepeda".  Demikian Koh Aming menutup pembicaraan siang itu. Pelayanan yang diberikan kepada saya, ternyata juga berlaku kepada mereka, para pelanggan, yang datang ke bengkel Koh Aming.  Mula-mula adalah tetangga dekat, kemudian orang-orang sekitar Pondok Aren.  Berangsur-angsur mereka juga mulai belajar tentang "managemen perbengkelan".  Bahasa Indonesianya mulai lancar.  Dan apa yang dapat kita lihat hari ini?   Setiap Jumat, Sabtu dan Minggu, bengkel sepeda Koh Aming, yang sekarang diberi nama Bengkel Sepeda "Setia", dipenuhi para goweser (orang yang gemar naik sepeda).  Para pelanggan Koh Aming sering membuat jalan Pondok Aren Raya tersendat.  Mereka datang dari tempat yang lebih jauh, seperti Bintaro, Serpong, bahkan Kebayoran Lama.  Bengkel yang sudah menjadi show room sepeda, menjadi tempat mangkal goweser.  Mereka saling bertukar informasi mengenai hal-ikhwal sepeda sambil minum air mineral, gratis dari Koh Aming.  "Setia"  juga menjual sepeda bekas ataupun baru dari pelbagai harga, selain tentu saja counter bengkel sepeda, yang masih berdiri tegak disana.  Keluarga Koh Aming telah sukses menjadi pengusaha sepeda dari hulu ke hilir, berkat sikap dan perilaku mereka yang menghargai pelanggannya. Teori mengenai customer satisfaction ternyata tidak hanya berlaku bagi sebuah organisasi atau perusahaan saja.  Setiap pribadi masing-masing mempunyai "pelanggan" yang harus dilayani dan dipuaskan.   Di rumah, di kampung, di kantor, di jalan raya, di tempat-tempat ibadah, bahkan di manapun berada, maka pelanggan kita pasti ada disana. Secara umum, Toyota mendefinisikan pelanggan dengan The next process is your customer.  Oleh sebab itu, semua pihak yang memproses, meneruskan atau menikmati hasil kerja anda, setiap orang yang menanggung akibat perilaku anda, setiap manusia yang menderita atau berbahagia karena ulah anda, mereka adalah pelanggan anda. Dengan definisi itu maka tidak hanya pihak yang membeli produk kita yang disebut sebagai pelanggan, tetapi  semua orang yang bersinggungan dengan anda, adalah pelanggan.  Thus, harus anda layani dan puaskan. Terjadi hubungan pelanggan timbal-balik yang masing-masing harus saling memuaskan.  Implisit, konsep ini mengajar kepada kita bahwa saling melayani adalah praktek yang wajib dilakukan, kalau sekiranya anda mau tetap ada. Nah, bagaimana tips agar customer satisfaction bisa terjadi? Pertama, kenali siapa pelanggan anda. Gunakan formula The next process is your customer. Kedua, identifikasi kebutuhannya dan yang terakhir, layani dan puaskan mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun