Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdeka dan Mandiri

14 Agustus 2015   15:26 Diperbarui: 14 Agustus 2015   15:26 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Tadi pagi saya berkunjung ke kantor cabang Bank Mandiri di Slipi. Ada transaksi kecil yang harus dilakukan di sana. Masuk pintu utama, nasabah disambut ornamen yang tak biasa. Ada balon, bendera, pita kertas, dan tak lupa jajan pasar yang ditandai bendera mini merah putih, digelar di sebuah tampah sederhana. Slogan ditulis dengan cat asal-asalan, di selembar kain sederhana. “Merdeka atau Mati”. Seakan menunjukkan kalau spanduk dibuat di masa lalu, kala keadaan perang.

Tak kalah “heroik”, saat mendapatkan semua petugas bank, customer service dan teller, petugas kebersihan dan kurir dokumen, mengenakan baju loreng, atas-bawah, lengkap dengan ikat lengan warna merah-putih. Singkat kata, suasana “tujuh belas agustusan” mewarnai kantor bank itu. Suasana perang, baru merdeka, gawat darurat dan menggalang persatuan melawan “penjajah”, sedang dibangun oleh sang Kepala Cabang. Pak Yunus dan timnya tak mau ketinggalan untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke 70. Dengan “Semangat 45”, dia berusaha agar “Agustusan” tak terlewatkan.

Keluar dari ruangan, saya termenung sejenak. Benar, tujuhbelas Agustus adalah tanggal keramat. Saya membayangkan, bila saja momen proklamasi kemerdekaan itu tak ada, apa yang terjadi dengan saya, dengan keluarga saya, dengan tetangga saya, dengan masyarakat Indonesia, dengan bangsa Indonesia.

Apakah kita masih dijajah Belanda, atau “diberi” hadiah kemerdekaan oleh Belanda, dan menikmatinya dengan cara berbeda. Saya tersadar, orang seberuntung saya, yang sedikit-banyak mengecap manisnya Indonesia merdeka, membuat 17 Agustus layak menjadi istimewa. Bila saja tidak ada, kemungkinan besar kecapan manis tak akan saya rasakan.

Ia layak dikenang, direnungkan, dibayangkan, dan disyukuri. Yang lebih penting, harus selalu dipikirkan bagaimana memelihara kemerdekaan dengan cara yang tepat, sesuai dengan kapasitas diri saya. Agar manisnya menjadi bangsa merdeka tidak hanya saya kecap sendirian, tapi dirasakan juga bagi semakin banyak rakyat Indonesia, bahkan seluruh rakyat Indonesia. Pertanyaan yang tak mudah menjawabnya.

Kesulitan yang sama, dialami oleh pak Yunus. Saat dia harus memutuskan, bagaimana merayakan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia, di bank yang dipimpinnya, dengan cara yang pas. Mengkaitkannya dengan cita-cita menjadi negara yang adil-makmur, rakyatnya sejahtera-sentosa, tata-tentrem, kertaraharja.

Nampak, cara itu tak diketemukan, dan pak Yunus, biar mudah, menghias ruangan kerja dengan asesori meriah, merah-putih, seperti yang terlihat dipajang di tempat kerjanya. Slogannya pun tidak direparasi supaya relevan. Menjadi, misalnya, “Merdeka dan Mandiri”. Mungkin lebih cocok dibanding mengutip mentah-mentah yel-yel yang diteriakkan Bung Tomo saat melawan Inggris, di Surabaya, 70 tahun lalu. Bukankah bangsa yang merdeka itu adalah bangsa yang mandiri. Sekaligus identik dengan nama bank, di mana mereka berkarya.

Tidak hanya pak Yunus. Bisa jadi, banyak (sekali) orang Indonesia yang ingin memelihara dan meningkatkan harkat Indonesia merdeka dan menggapai cita-cita mulia. Namun, menentukan cara yang paling tepat, agar upaya itu membuahkan tujuan kemerdekaan, menjadi PR yang sulit. Ia harus spesifik, kasuistis dan berkenaan dengan kebutuhan seluruh bangsa Indonesia.

Nasib serupa dialami banyak orang. Saat sulit memilih cara merayakan HUT kemerdekaan dengan pas, maka “upacara” yang paling mudah, mereka lakukan agar langsung dapat dilihat oleh khalayak. Cara yang dipilih banyak orang. Upacara yang seremonial, basa-basi, tanpa kedalaman, dan menafikkan hasil. Banyak yang melakukan hal serupa, hingga upaya yang dilakukan, sering dengan susah-payah, menjadi kurang berdaya-guna.

Apakah semua ritual itu lantas sia-sia? Tentu tidak. Semua kemeriahan; upacara bendera, panjat pinang, balap karung, menghias gapura, kerja bakti, selametan, atau karnaval alegorik tetap diperlukan selagi cita-cita kemerdekaan belum tercapai. Ia menjadi pengingat dan pendorong bahwa tujuan menjadi bangsa merdeka harus selalu diupayakan. Belum cukup, karena mengisi kemerdekaan harus terus dilakukan dengan sungguh-sungguh, kerja keras dan meletakkan nilai-nilai kebangsaan pada urutan nomer satu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun