Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Boston (2)

11 Juli 2011   03:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:46 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13103558681511961519

Suatu sore, dari lobby Hotel Boston Park Plaza, saya bergegas menuju lift, ketika tiba-tiba bertemu seorang pria  separuh baya, kira-kira berusia 65 tahun.  Dia memakai pakaian olah raga, celana pendek, Polo T shirt, dan sepatu karet berwarna putih, lengkap dengan kaos kaki panjang.  Kami berdua berjalan beriringan  menuju lift dan seperti lazimnya kebiasaan di sana ketika bertemu dengan orang lain, tegur sapa biasa dilakukan.   Dia seorang pria berkulit putih, berasal dari Chicago, kota terbesar ketiga di Amerika, setelah New York dan Los Angeles berjarak kira-kira 3 jam penerbangan dari Boston.  Nama panggilannya Jim dan dia sedang berlibur dengan isteri dan 2 orang anaknya, di New England termasuk Boston.   Saya berbasa-basi sebentar dan mengenalkan siapa dan dari mana saya.  Setelah mengetahui bahwa saya berasal dari Indonesia, suatu response  yang tidak terduga keluar dari mulutnya. "It is great, I pray for Indonesia, every night."  Persis ketika pak Jim mengakhiri kalimatnya, pintu lift terbuka,  dia mengucapkan kata-kata perpisahan dan keluar  di lantai 5.  Belum sempat saya berpikir dan mengucapkan sesuatu karena masih terbengong-bengong, dia sudah hilang dari pandangan saya. Malam itu saya memikirkan apa yang pak Jim ucapkan. Setumpuk pertanyaan  mengganggu benak saya. Mengapa dia selalu berdoa untuk Indonesia setiap malam?  Apa istimewa Indonesia bagi dia dan bagaimana dia sampai pada titik  itu?  Seberapa dekat dia dengan negara bernama Indonesia?  Saya menyesal mengapa semua pertanyaan itu tak sempat terlontar dari mulut saya kepadanya.  Pikiran saya berputar dan berputar terus, sambil mereka-mereka siapa pak Jim dan mengapa dia begitu lekat dengan negara saya, Indonesia.  Saya mengharap agar dalam sisa hari saya tinggal di Boston, masih sempat sebentar bertemu kembali dengan pak Jim, untuk memuaskan pertanyaan-pertanyaan tadi.  Sampai akhirnya, 2 hari setelah pertemuan sore itu, di suatu pagi, ketika saya sedang berjalan di trotoar pinggir jalan, saya melihat dari belakang pak Jim sedang jalan-pagi, 10 meter di depan saya.  Saya masih mengenali sosoknya, karena dia memakai pakaian olah-raga yang sama ketika bertemu saya 2 hari lalu.  Saya kejar dia, dan  kami bertegur sapa kembali.  Karena takut kehilangan kesempatan untuk mendapat jawaban dari dia, setelah sebentar berbasa-basi, saya langsung bertanya, mengapa  dia secara khusus mendoakan Indonesia setiap malam.  Pak Jim menjawab dengan bercerita panjang lebar, mengenai kisah yang dia dengar tentang Indonesia, yang sejak krisis multi-dimensi di tahun 1998, tak reda dirundung malang.  Diawali huru-hara Mei 1998, proses demokratisasi yang tak kunjung usai, kemiskinan  yang mencekam, bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, banjir bandang, gunung meletus yang datang silih berganti,  pertikaian politik yang menjadi menu sehari-hari dan malapetaka teroris dan bom yang tak putus-putus.  "Saya tidak mempunyai kaitan istimewa dengan Indonesia, hanya saja anak sulung saya pernah bekerja dan tinggal disana.  Saya mencermati negara anda dan mohon kepada Tuhan, agar kesusahan ini segera berakhir", demikian dia menutup pembicaraan kami pagi itu.  Begitu fasih dia menceritakan ini semua, seolah saya tak diberi kesempatan untuk menanggapinya.  Setelah itu kami berpisah, tentunya saya tutup pertemuan itu dengan ucapan terima kasih yang berlimpah. Saya tak habis berpikir bagaimana pak Jim bisa melakukan hal itu untuk Indonesia.  Bagaimana dia begitu memikirkan Indonesia sampai-sampai keprihatinannya dibawa dalam doanya, tiap malam.  Bagaimana pak Jim fasih menceritakan tentang Indonesia dengan detil dan diwarnai passion yang tinggi.  Dilain pihak, saya sebagai anak-bangsa yang negara dan bangsanya selalu didoakan oleh seorang warga-negara dari suatu negara yang berjarak ribuan mil, justru sangat-sangat jarang melakukan hal itu.   Saya sedih, saya malu dan saya terhanyut dalam keharuan mendengar cerita pak Jim pagi itu.  Sampai disini, saya  merasa "beruntung" sekaligus menumbuhkan harapan baru bahwa bangsa Indonesia akan bangkit dari keterpurukan ini semua.  Pak Jim adalah sebuah contoh cerita mengenai begitu peduli dan humanisnya perilaku kebanyakan orang Amerika.  Masih banyak contoh-contoh lain yang saya tenggarai sering muncul disana, disamping tentunya perilaku negatif yang juga menandai kehidupan mereka, sebagai suatu bangsa.  Sebagai lesson Iearnt untuk cermin bagi diri kita, saya ingin angkat 2 kisah kisah diantaranya. Suatu sore, kami  bertiga berjalan beriringan mencari lokasi toko buku Barnes & Nobles.  Ketika clingukan kesana kemari sambil melihat kiri-kanan, seorang ibu muda datang menghampiri kami.  "Are you heading the right way?". Demikian dia dengan ramah menyapa kami.  Sambil gelagapan karena terperanjat, kami menjawab : "Nampaknya kami kesulitan mencari toko buku B&N, anda tahu dimana lokasinya?".  Dengan sabar dia menerangkan lokasi toko buku itu berada.  Kami tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih, bukan karena sekarang lokasi toko buku itu sudah diketemukan tetapi terutama karena kami diajari bagaimana seharusnya bersikap bila ada orang lain yang sedang berada dalam kesulitan.  Kebiasaan menawarkan bantuan kepada sesama yang terlihat  sedang dalam kesulitan atau kebingungan, sangat lazim mereka lakukan.  Selama 2 minggu kami disana, lebih dari 10 kali kami ditegur untuk kasus yang serupa.  Praktek itu sangat langka muncul di negara kita, yang konon masyarakatnya  terkenal ramah-tamah dan suka tolong-menolong.  Saya sering melihat orang yang mungkin sedang terlihat mencari suatu alamat atau lokasi, bahkan di depan rumah tinggal saya.  Tetapi refleks yang  keluar dari diri saya untuk mencoba menolong, tidak juga keluar.  Kalau saja kebiasaan ini bisa ditularkan di Indonesia, niscaya karut-marut yang terjadi akhir-akhir ini, yang menjadi ujud doa pak Jim setiap malam bisa berangsur-angsur reda. Memang agak mengherankan bahwa perilaku peduli kepada sesama manusia bisa keluar di Amerika.  Negara yang biasa dikesankan sebagai embah-nya orang-orang arogan, dominan, sekuler, dan individulistis.  Saya tidak tahu apakah kepedulian tadi mempunyai irisan dengan kesan yang selama ini kita tangkap tentang Amerika, tetapi memang diantara contoh-contoh tadi, kesan superior masih sering timbul.  Kadang menjadi kontroversial bila kepedulian yang mendalam terhadap sesama diwarnai oleh kesan negatif yang saya sebut belakangan.  Contoh positif lainnya adalah apabila kita bertemu dengan orang lain, yang tidak dikenal.  Tegur sapa seperti "Good morning, How are you doing?,  Have a good day, It is great", atau ungkapan-ungkapan sejenis sangat sering dijumpai disana.  Apabila 2 atau lebih orang bertemu di lift, meskipun tidak saling kenal, selalu melontarkan sapa-sapaan simpatik yang sulit kita jumpai di Jakarta, bahkan kepada mereka yang saling mengenal sekalipun.  Sebagai bangsa yang, katanya, dikenal ramah, kita jauh lebih jarang menyapa sesama dengan ungkapan-ungkapan manis, dibanding dengan masyarakat yang dikenal individualistis dan arogan. Bisa dimaklumi bahwa seorang penulis dan satrawan ternama pada masanya di Amerika, Gestrude Stein (1874-1907) mengungkapkan perasaannya yang menggambarkan bagaimana sejatinya orang Amerika bersikap :  Americans are very friendly and very suspicious, that is what Americans are and that is what always upsets the foreigner who deals with them. They are so friendly how can they be so suspicious, they are so suspicious how can they be so friendly, but they just are. (Masyarakat Amerika sangat ramah sekaligus sangat selalu curiga. Itulah orang Amerika. Itu yang menyebabkan orang asing, yang pernah berhubungan dengan mereka, menjadi sebal.  Mereka sangat ramah, namun bagaimana mungkin mereka sangat curiga.  Mereka sering mencurigai orang lain tapi  sekaligus bisa menjadi sangat ramah. Ya itulah mereka.)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun