Sampai di halaman rumah, tetangga mengantarkan satu bungkus paket berisi daging kurban. Tetangga yang terkenal sebagai ustaz menyembelih seekor sapi di rumahnya. Rupanya kami kebagian.
"Aku masak pindang ya, Yah!" kata istri yang sering saya juluki Ibu Negara.
"Boleh. Bisa?" jawab saya.
"Semoga saja jadi, kan kita presto?" jawabnya beralasan.
Pulang salat Jumat, pindang tulang masakan Ibu Negara sudah matang. Ibu Negara menawari, "Coba Cicip, Yah, mumpung masih hangat."
Saya pun menyeruput kuah pindah yang masih mengeluarkan uap panasnya.
"Hmm ... sedap, Bu. Asam manisnya terasa!" jawab saya memuji.
"Habiskan, ya. Sudah ini jangan nambah lagi!" Ibu Negara mengingatkan. Ia tahu suaminya sudah mulai terkena hipertensi.
"Beres!"
Masakan pindang yang fotonya saya pajang di artikel ini saya seruput kuahnya. Daging sapi yang menempel pada tulang iga saya gigit.Â
"Empuk," gumamku dalam hati, "Luar biasa ibu negaraku. Rasanya tidak kalah dengan pindang tulang seharga empat puluh lima ribu rupiah satu porsi bersama nasi."