Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Upacara Hari Pramuka

15 Agustus 2022   00:07 Diperbarui: 15 Agustus 2022   00:33 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/vectors/pramuka

"Anak-anak, hari Minggu lusa tanggal empat belas. Kita mendapat undangan mengikuti upacara bendera dalam rangka peringatan ke-61 Pramuka tingkat Kwartir Ranting di Lapangan Kecamatan. Kalian mau ikut?" Pak Eko memberikan pengumuman.

"Mau ...!" jawab anak-anak serempak.

"Peserta setiap gugusedepan terbatas, hanya dua regu, satu regu putera dan satu regu puteri. Oleh karena itu, kami akan menentukan dari kalian yang siap sebanyak sepuluh orang putera dan sepuluh orang puteri," imbuh Pak Eko.

Anak-anak kelas lima dan kelas enam sangat antusias ingin ikut upacara di kecamatan.

"Nes, semoga kita dipilih, ya?" kata Adinda.

"Iya, Din. Aku sangat ingin ikut upacara kali ini. Aku belum pernah ikut pramuka. Ketika kelas tiga dan empat dulu kan kita daring," jawab Ines.

Kedua anak kelas lima itu sangat berharap dipilih untuk mewakili gudep mereka.

Keesokan hari, Pak Eko dan Bu Ana mengumumkan nama-nama murid yang akan ikut upacara pada hari Minggu.

"Mohon perhatian ... anak-anak yang kami sebut agar menuju ke ruang guru atau ke sumber suara sekarang!" Suara Bu Ana terdengar keras melalui pengeras suara yang terpasang di depan ruang guru. Apalagi pengeras suara berbentuk corong itu tepat menghadap ke arah ruang kelas lima dan enam.

"Diam, itu ada pengumuman!" teriak Ines menyuruh teman-temannya mendengarkan pengumuman.

"Baik, Ibu umumkan anak-anak yang akan mewakili gudep kita mengikuti upacara Hari Pramuka," suara Bu Ana didengarkan anak-anak dengan saksama.

"Regu puteri .... Dinda Wulandari, Ines Puji Lestari, Cik Galu, Habibah, Asmina, Siti Lekat, Romayanti, Bainay, Cik Ida, dan Winda Aria."

Mendengar namanya disebut, Ines melompat-lompat kegirangan.

"Dinda, kita ikut. Puji Tuhan ...!" kata Ines.

"Iya, Nes. Alhamdulillaah," jawab Dinda tak kalah bersyukur.

Sampai di rumah, Ines mengadu kepada sang ibu.

"Bu, besok aku ikut upacara hari Pramuka. Kata Bu Guru, sangu air minum dan bawa bontot," lapor Ines kepada ibunya.

Selesai ganti baju, Ines sibuk mempersiapkan peralatan yang hendak dibawa besok. Topi pramuka, kacu pramuka beserta cincin pengikatnya, ikat pinggang, rok berwarna coklat tua, dan baju pramuka. Ia pun mengosongkan tas sekolahnya untuk dijadikan tempat membawa bekal.

Setelah dirasa cukup, ia bermaksud pergi ke rumah Dinda. Ines pun mengeluarkan sepeda mini berwarna merah jambu kesayangannya.

"Ines mau ke mana?" tanya sang bunda.

"Aku mau ke rumah Dinda, Bu," jawab Ines.

"Loh, bukannya kamu belum makan?" tanya ibunya.

"Nggak laper, Bu," jawab Ines lagi.

"Makanlah dulu. Nanti kamu kelaparan, bisa sakit nanti," sang ibu memperingatkan.

"Iya, tapi aku tidak lapar. Sudah ya, Bu. Aku pergi dulu."

Ines tidak menghiraukan nasihat ibunya. Ia mengayuh sepedanya cepat-cepat. Rasa gembira membuat Ines tidak merasa lapar. Ia terus mengayuh menyusuri jalan aspal yang membelah sawah di desanya. Tujuannya hanya satu, rumah Dinda. Rumah Dinda berada di ujung desa. Jika diukur, jarak rumah Ines ke rumah Dinda sekitar satu kilometer.

"Din ... da ... Din ... da ...," suara Ines memanggil-manggil nama sahabatnya.

"Hai, Ines. Mari masuk," ajak Dinda setelah ia membuka pintu depan.

"Ih, banyak sekali keringatmu," kata Dinda pula.

"Iya, Din. Rumahmu kan lumayan jauh," jawab Ines beralasan.

"Tapi, badan kamu dingin sekali. Muka kamu juga pucat. Aku ambilkan minum, ya!" Dinda menawarkan air minum kepada sahabatnya.

Sebenarnya, Ines sangat lapar. Di rumahnya ia tidak merasa lapar karena perasaan gembira besok hari diajak ikut upacara Hari Pramuka. Akan tetapi, jarak rumah Dinda yang jauh dan ia mengayuh sepedanya cepat-cepat membuat energinya terkuras.

Dinda keluar dari arah dapur. "Minum dulu, Nes!" kata Dinda kepada sahabatnya itu. Segelas air putih yang disodorkan Dinda habis diteguknya.

"Nah, terasa segar bukan?" komentar Dinda. Ines pun mengangguk. Gelas kosong bekas minum ia letakkan di meja.

"Bagaimana, Din, apakah kamu sudah siap?" tanya Ines.

"Belum, ibuku lagi beli cincin kacu pramuka. Punyaku hilang. Tuh, ibu sudah pulang," jawab Dinda.

Kedua anak menoleh ke halaman rumah. Dengan mengendarai sepeda motor, ibu Dinda memasuki halaman rumah. Setelah sepeda ia standarkan, ibu Dinda pun masuk rumah.

"E, ... ada Ines. Sudah lama, Ines?" tanya ibu Dinda.

Ines pun segera menyambut dan menyalami orang tua Dinda yang biasa ia panggil Bude.

"Baru kok, Bude," jawab Ines sambil mencium telapak tangan ibu Dinda.

"Badanmu sangat dingin, Ines. Apakah kamu sakit?" tanya ibu Dinda. Naluri keibuannya menangkap hal yang tidak beres.

"Ines belum makan? Keringatmu dingin dan tanganmu terasa bergetar. Ines belum makan?" tanya ibu Dinda.

"Sudah kok, Bude," jawab Ines berbohong. Ia malu jika mengakui bahwa dirinya belum makan. Ia tidak menghiraukan pesan ibunya karena ia diliputi rasa gembira. Tetapi, perut dan badannya tidak bisa berbohong.

"O iya, gak papa. Ini Bude beli model dua bungkus. Kalian makan berdua, ya. Dinda, ambil mangkuk. Ajak Ines makan model!" suruh ibu Dinda.

Model adalah makanan berkuah seperti bakso, tetapi adonannya terbuat dari ikan. Biasanya ikan tengiri. Jika bakso berbentuk bulat-bulat atau bentuk lain, adonan pada model dibuat besar dan disajikan dengan dipotong-potong.

"Ayo, Nes, makan!" ajak Dinda kepada Ines. Ines pun mengiyakan. Kedua anak makan dengan lahap.

Ines sebenarnya merasa malu. Hampir saja ketahuan ia kelaparan. Oleh karena itu, ketika diajak makan model, ia tidak bisa menolak. Jika ia menolak belum tentu ia akan kuat kembali ke rumah. Bisa jadi ia sakit dan besok pagi tidak bisa ikut upacara yang sudah lama diidam-idamkan.

 

Musi Rawas, Kamis, 14 Agustus 2022

PakDSus

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun