Mohon tunggu...
Susan Alwia
Susan Alwia Mohon Tunggu... Lainnya - Susan Alwia

Mahasiswi UIN Alauddin Makassa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perempuan dalam Agama Islam

31 Desember 2020   01:00 Diperbarui: 31 Desember 2020   01:10 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seiring dengan perkembangan zaman, peran perempuan dalam ranah publik sudah semakin terlihat. Kini banyak sekali pemimpin-pemimpin perempuan yang mempunyai peran yang sangat penting dalam masyarakat. Perempuan juga sudah mampu mengambil posisi yang strategis dalam berbagai bidang, baik itu dalam pemerintahan, ekonomi, pendidikan, bahkan urusan dalam mencari nafkah yang biasanya dibebankan kepada laki-laki. 

Akan tetapi, meskipun sudah bisa aktif dan melakukan kontribusi dalam ranah publik, eksistensi perempuan masih dikesampingkan dan masih banyak yang beranggapan bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua.

            Dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, keadaan perempuan bisa dibilanng sangat memprihatinkan. Orang-orang dulu selalu memberikan pandangan buruk kepada perempuan, mulai dari mengatakan bahwa perempuan itu iblis, hina, makhluk lemah, bahkan tak jarang ditemui dalam beberapa literatu bahwa perempuan diperbudak secara seks.

            Dalam masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam, perempuan juga selalu menjadi makhluk tertindas dan tidak diinginkan kelahirannya, ini dibuktikan dari semua literatur sejarah kebudayaan islam yang mengatakan bahwa masyarakat Arab dahulu, jika anak mereka lahir dan ia merupakan perempuan maka mereka tidak akan segan untuk menguburnya hidup – hidup karena rasa malu yang ia rasakan. 

Mereka menganggap bayi perempuan itu adalah aib karena jika mereka sudah besar meraka mempunyai fisik yang lemah. Tidak hany sampai disitu, perempuan juga dijadikan sebagai harta warisan dimana jika seorang istri ditinggal mati oleh suaminya maka ia boleh diwariskan kepada sanak famili dari sang suami.

            Ditengah kondisi perempuan yang begitu memilukan, Islam datang membawa ajaran tauhid yakni suatu keyakinan yang mengajarkan ketuhanan yang esa dengan menyembah Allah dan tiada Tuhan selain Dirinya. Munculnya agama islam merupakan langkah awal terciptanya kesetaraan bagi perempuan. 

Prof. Musda Mulia dalam bukunya yang berjudul Muslima Reformis mengatakan bahwa pada dasarnya konsep ajaran tauhid bukan semata-mata hanya berbicara mengenai keesaan Allah, akan tetapi, mengajarkan kesetaraan itu sendiri. 

Keesaan Allah yang diajarkan dalam tauhid itu menuntut agar manusia hanya menyembah dan takut kepada Allah, sehingga jika seseorang mengagungkan manusia lainnya maka itu akan disebut syirik atau menduakan Allah. Oleh karena itu dalam ajaran tauhid semua manusia sama di mata Allah yang membedakan mereka hanyalah ketaqwaannya.

            Nilai keadilan bagi perempuan juga  terdapat dalam konsep ilmu fikih. Seperti yang terdapat dalam ilmu mawaris atau tentang warisan. Mungkin para aktivis feminis menilai bahwa aturan dalam menentukan warisan bagi perempuan dalam islam itu dinilai tidak adil karena pembagian 2 : 1, perempuan yang mendapat bagian 1 nya. Padahal jika dilihat dari sejarah perempuan sebelum islam datang perempuan hanya merupakan barang warisan. 

Hal itu merupakan gebrakan besar dari Islam bagi perempuan karena yang sebelumnya jadi barang kini sudah jadi penerima warisan. Ketentuan perbandingan tersebut juga dinilai adil karena banyaknya warisa yang didapatkan laki – laki dikarenakan perannya sebagai pencari nafkah untuk keluarganya. Adapun jika membahas fenomena sekarang dimana sudah ada perempuan yang bertukar posisi dengan suaminya sebagai tulang punggung keluarga, maka hal itu sudah banyak diperbincangkan dalam dunia fikih kontemporer. 

Contoh lain lagi yakni jumlah kambing yang disembelih ketika aqiqah bayi perempuan dan laki – laki, para aktivis feminis seringkali mengkritik hal ini seolah – olah menandakan bahwa harga perempuan itu dibawah laki-laki. Dalam buku Ketika Fiqih Membela Perempuan karya Prof. Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa waktu itu – sebagaimana yang kita ketahui sejarahnya- bayi perempuan sama sekali tidak diinginkan, tapi dengan adanya ajaran syariat ini kelahiran bayi perempuan pun turut dirayakan sebagaimana kelahiran bayi laki  laki. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun