Mohon tunggu...
Suryokoco Suryoputro
Suryokoco Suryoputro Mohon Tunggu... Bicara tentang Desa - Kopi - Tembakau - Perantauan

Berbagi pandangan tentang Desa, Kopi dan Tembakau untuk Indonesia. Aktif di Organisasi Relawan Pemberdayaan Desa Nusantara, Koperasi Komunitas Desa Indonesia, Komunitas Perokok Bijak, Komuitas Moblie Journalis Indonesia dan beberapa organisasi komunitas perantau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Satu HP Dua WhatsApp, Kamu Terlihat Pendamping Desa Profesional @KompasianaDESA

15 Mei 2025   22:11 Diperbarui: 15 Mei 2025   22:11 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kopi masih mengepul saat empat sahabat lama itu duduk mengelilingi meja kayu jati tua di sudut kafe Ngopi Lali Wektu, sebuah kafe vintage di kota kecil Ngadirejo, Jawa Tengah. Kafe itu dulunya rumah Belanda, disulap jadi tempat nongkrong beraroma nostalgia.

Angin pagi membawa harum kopi tubruk, bercampur dengan alunan jazz lembut dari speaker tua di atas pintu masuk. Ruangannya sunyi dari lalu lintas kota besar, tapi hangat oleh percakapan.

"Tahun 2009 terakhir kita ngopi bareng lengkap begini, ya?" ucap Dito, guru SMK yang kini jadi dosen, sambil memotret kopi untuk dipasang di status WhatsApp.

"Waktu itu masih zaman SMS, belum ada grup-grupan WA," sahut Bima, PNS di kecamatan, sambil menyesap kopinya.

Yusuf, yang kini kerja sebagai konsultan branding, tertawa. "Dan sekarang WA-nya pun harus dibedakan: nomor pribadi dan kerja. Aku udah kapok dicampur, nggak enak dibangunin klien tengah malam cuma karena satu nomor WA."

Di pojok, Arwan duduk sambil menunduk, sibuk membalas WA. Ia baru bergabung lima menit lalu. Kaus polos dan ransel lusuhnya masih menunjukkan wajah khas lapangan. Ia adalah seorang pendamping desa, yang sering wara-wiri dari kecamatan ke dusun dengan motor dan sepatu butut.

"Wan," sapa Yusuf sambil menepuk pundaknya. "Lu masih satu nomor aja WA-nya?"

"Lha iya," jawab Arwan santai. "Ngapain ribet? Satu HP, satu WA cukup."

Dito terkekeh. "Pantesan kemarin aku liat status WA-mu isinya foto jalanan rusak, terus disusul poster pelatihan, malamnya malah quote galau 'rindu itu berat'."

Mereka semua tergelak. Arwan tersenyum malu.

"Ya itu status istri yang upload. Kadang dia juga buka WA-ku," kilahnya.

Bima langsung menyahut, "Walah Wan, kamu tuh pendamping desa. Wajahmu ya nomor WA-mu itu. Gimana orang desa mau percaya kamu profesional kalau tiap hari lihat status campur aduk?"

Yusuf mengangguk. "Apalagi kamu sering jadi narahubung pelatihan, jadi moderator forum RT-RW. WA kamu kayak kantor pelayanan berjalan."

Arwan mengangkat alis. "Tapi klienku ya cuma pemdes dan warga. Mereka nggak mikir sejauh itu, aku rasa."

"Justru itu," potong Dito. "Karena kamu berhadapan sama publik, maka kesan profesional harus dijaga. Warga desa pun sekarang tahu mana pendamping yang serius, mana yang suka forward hoaks."

Bima menimpali, "Aku tuh pernah lihat temanmu---sesama pendamping---WA-nya dua nomor. Satu buat warga dan rekan kerja, satu lagi buat keluarga dan grup alumni. Aman, nggak tumpang tindih."

Yusuf mengeluarkan HP-nya dan memperlihatkan WA Business miliknya. "Nih, lihat. Aku set jam kerja. Jam 8--17. Di luar itu, WA otomatis bales: 'Terima kasih, kami akan tanggapi esok hari.' Rapi, dan aku tetap bisa punya waktu istirahat."

Dito menambahkan, "Dan WA bisnis bisa punya katalog. Kamu bisa pajang program kerja, link dokumen, bahkan daftar pelatihan yang kamu handle. Mirip profil CV mini."

Arwan terlihat mulai tertarik. "Itu berarti aku bisa pasang link Google Form rekrut relawan, atau link PDF juknis, ya?"

"Bisa!" seru Bima. "Bahkan bisa auto-reply kalau ada yang nanya dokumen. Cukup ketik '/pelatihan' langsung bales dengan template jawaban."

"Tapi kan aku cuma punya satu HP," ragu Arwan.

"Lho, sekarang HP dua SIM itu biasa, Wan," kata Yusuf. "Nomor pribadi tetap di WA biasa. Nomor kerja di WA bisnis. Satu HP dua aplikasi."

Arwan mengangguk-angguk. "Tapi kalau warga nanya WA jam 9 malam, masa aku cuekin?"

"Bisa dijawab esok hari," kata Dito. "Kalau penting, mereka akan tunggu. Kalau nggak penting, justru kamu selamat dari stress."

Yusuf tersenyum. "Kamu ingat nggak waktu kamu pernah share foto jalan berlumpur, lalu sore harinya istri kamu upload status foto masakan, terus malamnya kamu pasang status quotes patah hati. Itu semua satu nomor."

"Parahnya," tambah Bima, "grup dinas ikut lihat. Lurahnya nanya, 'Mas Arwan ini kok kayak labil ya status WA-nya'."

Tawa pecah lagi. Arwan mengusap wajahnya. "Ya Allah... aku jadi bahan meme di forum internal, ya?"

"Sedikit," canda Dito. "Tapi jujur, ini bisa dihindari kalau kamu pisah nomor."

Arwan akhirnya menyeruput kopinya. "Oke, aku ngaku kalah. Kalian bener. Selama ini aku kira warga itu cuek. Tapi ternyata... semua orang menilai."

Yusuf tersenyum. "Nomor WA itu kayak seragam kita. Dari situ orang tahu kita ini siapa. Jadi nggak lucu kalau profil pendamping desa tapi fotonya anak kecil pakai topi kelinci."

"Apalagi namanya cuma 'WAN'. Klien simpan kontakmu jadi 'Wan Apaan'," celetuk Bima disambut tawa lebar.

Arwan tertawa sambil menggeleng. "Baiklah, mulai besok: foto profil pakai batik, nama lengkap, status inspiratif, dan WA dibagi dua. Deal?"

"Deal!" seru mereka serempak.

Pagi menjelang siang. Di bawah lampu gantung dari anyaman bambu, keempat sahabat itu menertawakan masa lalu, mengkritik masa kini, dan menyusun langkah kecil menuju profesionalisme, bahkan dari hal sederhana: cara menggunakan WhatsApp.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun