Mohon tunggu...
Surya Putra
Surya Putra Mohon Tunggu... Smart People, Friendly and enthusiastic

Membaca, Berbagi Kisah, Travelling dan Deep Thinking.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Langkah Pertama di Pagi Yang Berkabut (Bag 1)

12 Juli 2025   08:19 Diperbarui: 12 Juli 2025   08:19 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepenggal Perjalanan Pendamping (AI)

Membangun Desa Merawat Asa.

Kabut menggantung rendah di atas permukaan Danau Maninjau pagi itu. Udara sejuk memeluk tubuh dan membungkam suara, menyisakan hanya desir lembut angin dan gelegak riak kecil yang memantul ke dinding-dinding perahu nelayan. Di kejauhan, sekelompok anak-anak menyusuri jalan setapak, berjalan kaki menuju sekolah dasar satu-satunya di nagari itu --- bangunannya tua, muridnya hanya dua belas orang.

Dari atas sepeda motornya, Satria memandangi mereka. Pendamping Lokal Desa yang baru beberapa hari ditugaskan di Nagari Batu Patah itu menunduk, merapikan map di tangannya. Hari ini, ia akan menghadiri musyawarah rencana pembangunan desa --- yang pertama sejak ia bertugas. Di pundaknya, ia tahu, bukan sekadar tugas administratif yang menanti, melainkan harapan, kekecewaan, dan keheningan panjang sebuah nagari yang nyaris dilupakan.

Batu Patah adalah satu dari sekian banyak desa yang berbaring damai di pelukan Danau Maninjau. Dikelilingi oleh bukit, tebing hijau, dan pemandangan air tenang yang memantulkan langit biru dengan sempurna, desa ini seolah dijanjikan surga. Tapi di balik keindahan itu, tersembunyi kenyataan yang sunyi: jalan yang rusak, sinyal yang hanya muncul jika berdiri di dekat mushola, air bersih yang tak selalu mengalir, dan anak-anak yang masih kekurangan gizi.

"Desa ini cantik, tapi sepi," bisik Satria pada dirinya sendiri sambil melintasi jembatan kayu yang sudah lapuk, yang konon tak pernah diperbaiki sejak zaman Orde Baru.

Musyawarah desa pagi itu diadakan di balai nagari, bangunan sederhana beratap seng yang mulai memudar warnanya. Kursi-kursi plastik tertata rapi, tapi hanya beberapa yang terisi. Wajah-wajah yang hadir tampak lelah --- bukan karena pekerjaan fisik, tetapi oleh bertahun-tahun janji pembangunan yang datang hanya sebagai kata-kata.

"Ini musrenbang, tapi ndak ada yang semangat bang," keluh Uda Riko, kepala dusun yang menemani Satria masuk ke ruangan. "Kami di sini sudah biasa rapat, tapi hasilnya... ya begitulah. Yang diprioritaskan belum tentu dikerjakan."

Di dalam ruangan, seorang ibu paruh baya mengangkat tangan. "Kalau bisa tahun ini diperbaiki jalan ke dusun kami, Pak Wali. Anak-anak sudah sering jatuh waktu hujan. Kami juga susah bawa hasil tani ke pasar." Ia adalah Bu Yusnita, kader posyandu yang selama ini merawat anak-anak berisiko stunting dengan keterbatasan gizi dan fasilitas.

Tapi kepala desa hanya mengangguk pelan. "Akan kita coba usulkan kembali ke kabupaten. Tahun kemarin kita juga ajukan, tapi belum dikabulkan."

Satria mencatat semuanya. Ia belum bicara banyak, hanya mendengarkan. Ia tahu, saat pertama hadir, tugas utama seorang pendamping bukan menyampaikan program, tapi mendengarkan luka yang kadang sudah terlalu lama dipendam warga desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun