Mohon tunggu...
Suryani Amin
Suryani Amin Mohon Tunggu... -

Penyuka jalan jalan dan tulisan tentang perjalanan. Sosiolog, bekerja sebagai Konsultan untuk Adaptasi Perubahan Iklim di lembaga bantuan pembangunan Internasional di Jakarta. Menulis fiksi dan mendokumentasikan perjalanan adalah minatnya diluar pekerjaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Manusia Bergawai dan Rasa Kemanusiaan - Cerita Ibu Puasa dari Wara

13 April 2016   23:02 Diperbarui: 14 April 2016   11:02 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini cerita  sederhana. Tentang manusia dan kemanusiaan. Pada masa dimana colokan listrik dan power bank naik derajat menjadi kebutuhan primer. Disamakan kelasnya dengan kebutuhan makan minum. Ditulis untuk menghormati sahabat saya Andi Farid Baso Rachim – camat Wara di Kota Palopo. Kota kecil nun jauh di Utara Makassar. Yang bahkan namanya mungkin luput dari pengetahuan umum kita. Tidak untuk membuatnya membusung dada. Tapi untuk mengingatkan semua, termasuk saya agar tidak lalai. Juga jadi lonceng pengingat untuk tidak berhenti mengucap syukur.  

 [caption caption="Ibu Puasa didalam gubuknya"][/caption]Adalah Ibu tua renta berusia lebih dari 60 tahun cerita ini berporos. Namanya Ibu Puasa. Tubuhnya kurus dan ringkih dimakan usia. Tinggal sebatang kara di gubuk reyot yang lebih  menyerupai kandang binatang. Bilik kecil tanpa sekat berdinding rumbia bercampur seng dan bambu bekas.   Alas pijaknya tanah. Becek saat hujan. Gubuk kecil hanya berisi kain rombeng untuk sekat dan alas tidur. Sisanya, ruang yang difungsikan sebagai dapur. Berisi peralatan masak tua penuh jelaga dan peralatan makan seadanya. Tungku tanah menyisakan abu dari sisa pembakaran kayu.

 [caption caption="kondisi dalam gubuk"]

[/caption]Ibu Puasa menyambung hidup dari hasil menganyam rumbia. Untuk dijual sebagai atap. Di masa semaju sekarang, konsumen atap rumbia tidak lagi banyak. Hanya itu yang bisa ia kerjakan. Setiap lembar jalinan rumbia yang diserahkan ke pengepul hanya dihargai kurang dari tiga ratus perak. Kemampuan rata-rata Ibu puasa hanya 15 lembar perhari. Dengan penghasilan empat ribu rupiah perhari itulah ia bertahan hidup. Mengenaskan! Bahkan dengan indikator nasional penghasilan yang dinyatakan miskin, penghasilan Ibu Puasa berlipat tergelincir jauh dibawahnya.  Coba sandingkan dengan harga secangkir kopi panas yang kita bayar saat ngafe. Penghasilan sehari Ibu Puasa tidak akan sanggup membayarnya.

 [caption caption="menganyam atap rumbia"]

[/caption]Suami Ibu Puasa telah lama wafat. Dua putri dan satu putranya jauh menjejak tanah Jawa  dan kabupaten seberang. Menjadi  kaum rantau. Ibu Puasa memilih tetap tinggal di Palopo. Dilahan dimana ia pernah menjaga kebun majikannya yang sayangnya telah berpindah kepemilikan. Tidak sedikitpun Ibu Puasa berpikir untuk menadahkan tangan menjadi peminta-minta. Bertahun-tahun hidupnya dipertahankan dari hasil kerja keras tangan keriputnya.

 [caption caption="peralatan memasak"]

[/caption]Ketidakmampuan Ibu Puasa hidup layak diketahui awalnya oleh Lurah setempat. Dari kegiatan pemantauan rutin. Ibu Puasa ditemukan dalam gubuknya. Menemukan kenyataan ini, Pak Lurah meneruskan laporan pada level Kecamatan. Aparat Lurah dan Kecamatan memutuskan untuk mengambil langkah tindak lanjut. Penanganan prioritas adalah merenovasi gubuk tinggal Ibu Puasa. Agar lebih layak  ditinggali.

 [caption caption="ditengah proses renovasi"]

[/caption]Ketiadaan anggaran menjadi aral saat keinginan merenovasi rumah telah disepakati. Diperkirakan membutuhkan sekitar lima belas juta rupiah. Untunglah, niat baik selalu menemukan jalannya. Perangkat gawai dan aplikasi jaringan sosial didalamnya menjadi alat bantu penggalangan dana. Dimulai dari inisiatif Pak Camat untuk mengetuk rasa kemanusian  para kawan .

Agar turut mendermakan sebagian rezekinya. Paralel dengan itu, inisiatif yang sama bergulir di  kalangan aparat Kelurahan dan Kecamatan. Bantuan finansial dan tenaga  pertukangan sedikit demi sedikit terkumpul. Empat puluh persen dari kebutuhan renovasi diperoleh dari sumbangan individu. Mereka terutama adalah jaringan alumni SMP Pak Camat. Kontak-kontak pribadi juga dijalin untuk membantu  menjangkau angka kebutuhan.

Perangkat komunikasi memang pedang bermata dua. Penggunanya lah yang mengendalikan arah pemanfaatannya. Diantara deru kehidupan urban,  semakin marak manusia-manusia modern yang menghabiskan banyak waktunya menatap telepon pintar dalam genggamannya. Hubungan sosial dijalin dengan lewat aplikasi yang dibenamkan dalam gawai. 

Meskipun kedekatan semacam ini dianggap semu, keyakinan tentang rasa kemanusiaan yang memudar tidak terbukti. Setidaknya dalam kasus ini.  Mungkin karena pada akarnya berbagi adalah hakekat manusia. Dari sini harapan untuk memanusiakan manusia bisa terus dipelihara. Toh tak ada yang mampu membendung kemajuan teknologi.

Malam ini dan malam-malam setelahnya, Ibu Puasa pasti bisa tidur lebih nyenyak dirumah barunya. Rumah yang melindungi tubuh tuanya dari hujan dan panas. Rumah yang layak saja, pasti tidak menyelesaikan seluruh masalah Ibu Puasa. Namun, sungguh langkah besar untuk memulai langkah-langkah lain.

Seperti pesan sahabat saya sang Camat saat meminta saya menulis “saya bukan  pahlawan”.  Saya meng Amin-i pernyataannya. Saya percaya ia tulus sosok mulia dibelakangnya adalah manusia-manusia modern bergawai di atas. Hikmah yang saya suka adalah betapa sahabat saya semakin mencintai pekerjaanya. Ia menjadi abdi sesungguhnya bagi warganya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun