Tamparan di Sekolah, Luka di Hati Bangsa
Sebuah peristiwa di Lebak, Banten, baru-baru ini kembali mengguncang ruang publik. Seorang kepala sekolah menampar siswanya yang tertangkap merokok di lingkungan sekolah. Sekilas, peristiwa ini tampak sederhana: pelanggaran disiplin dibalas dengan tindakan tegas. Namun di balik satu tamparan itu, tersimpan persoalan yang jauh lebih dalam tentang moralitas, kekuasaan, dan arah pendidikan kita.
Di masa lalu, tamparan mungkin dianggap wajar, bahkan dianggap bagian dari “pendidikan karakter”. Tetapi dunia berubah. Di era ketika kesadaran akan hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan semakin tinggi, kekerasan sekecil apa pun mudah terbaca sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Maka, pertanyaan pentingnya bukan lagi apakah siswa itu salah, tetapi bagaimana kita memperlakukan kesalahan.
Antara Niat dan Dampak
Banyak orang berpendapat bahwa kepala sekolah itu hanya bermaksud mendidik. Namun, dalam etika, niat baik tidak selalu membenarkan cara. Filsuf Immanuel Kant menegaskan bahwa manusia tidak boleh dijadikan alat untuk tujuan apa pun, bahkan tujuan pendidikan. Saat seorang pendidik menampar murid, sebetulnya ia sedang mengubah tubuh dan rasa malu murid itu menjadi sarana untuk mencapai ketertiban.
Apakah itu bisa dibenarkan? Dari sisi teleologis yang menilai moralitas berdasarkan hasil, sebagian mungkin berkata: “Kalau setelah ditampar siswa tidak merokok lagi, berarti berhasil.” Tetapi apakah ketakutan yang muncul dari rasa sakit bisa disebut kesadaran moral? Ataukah hanya ketaatan semu, yang hilang begitu tidak ada pengawasan?
John Stuart Mill mengingatkan bahwa tindakan bermoral bukan hanya soal akibat jangka pendek, tapi bagaimana ia menumbuhkan kebahagiaan dan martabat manusia dalam jangka panjang. Tamparan mungkin menghentikan perilaku, tetapi belum tentu menumbuhkan kesadaran.
Kekuasaan yang Hilang Kendali
Michel Foucault, filsuf Prancis, menggambarkan sekolah sebagai “miniatur penjara”, bukan karena temboknya, melainkan karena sistem pengawasan dan normalisasi perilaku yang ada di dalamnya. Ketika seorang guru menampar, ia bukan hanya menegakkan disiplin, tetapi juga memulihkan wibawa yang ia rasa hilang. Tamparan itu menjadi ekspresi frustrasi atas sistem pendidikan yang gagal menumbuhkan otoritas moral tanpa kekerasan.
Kita sering memuja “ketegasan”, padahal kerap keliru memaknainya. Ketegasan sejati lahir dari prinsip dan keteladanan, bukan dari amarah. Ketika guru kehilangan kesabaran, ia kehilangan fungsi moralnya. Di titik itulah pendidikan berhenti menjadi ruang pembentukan nilai, dan berubah menjadi arena kekuasaan.
Mencari Akar Masalah