Mohon tunggu...
Suryadi
Suryadi Mohon Tunggu... -

Saya menulis dengan sikap rendah hati. Saya hanya berharap dari apa yang saya tulis, orang lain akan beroleh manfaat, walau mungkin hanya secuil. Dan saya berharap dari manfaat yang diperoleh orang lain dari tulisan saya itu, Tuhan Yang Maha Kuasa akan berkenan membalasnya dengan menunjukkan jalan kebenaran dalam hidup saya. (Personal page: http://www.universiteitleiden.nl/en/staffmembers/surya-suryadi).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Bali Dipandang dari Sumatera, 1930-an

3 Agustus 2016   07:00 Diperbarui: 3 Agustus 2016   23:19 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan Bali, awal 1940-an. (Sumber: www.carigold.com)

Siapa yang tidak mengenal nama Bali? ‘Pulau Sorga’, ‘Pulau Dewata’, demikian antara lain julukan yang diberikan kepadanya. Sudah banyak pengunjung asing yang menukilkan kenangan mereka tentang Bali, dalam berbagai medium, seperti karya sastra, laporan jurnalistik, lukisan, dan yang lebih modern, dalam postingan film di YouTube dan celotehan di sosmed.

Scholar prolifik Bali, I Nyoman Darma Putra, dalam beberapa karyanya – lihat antara lain Literary Mirror: Balinese reflection of modernity and identity in the twentieth century (2011), Dendang Denpasar nyiur Sanur (2012) dan Denpasar Lan Don Pasar: Pupulan puisi Bali modern (2013 ), dua yang terakhir dieditori bersama I Gede Gita Purnama dan AA Ngurah Oka Wiranata – memotret pandangan orang Bali sendiri dan orang luar, umumnya yang berasal dari etnis lain di Indonesia, tentang Bali, dalam karya sastra. Secara umum dapat disimpulkan bahwa penyair Bali memiliki persepsi yang berbeda tentang masyarakat dan kebudayaannya sendiri: ada yang pesimis melihat efek negatif dari pariwisata yang sudah sangat menyatu dengan kehidupan orang Bali; sebaliknya, ada yang memuji sifat lentur dan bertahan kebudayaan Bali dari pengaruh luar sampai sekarang. Sementara penyair luar cenderung menilai alam dan budaya Bali tidak terpengaruh oleh budaya luar yang dibawa oleh wisatawan mancanegara. Di bidang seni lukis, pandangan seperti itu juga mendominasi persepsi para pelukis asing tentang Bali.

Tulisan ini menukik ke aspek yang lebih spesifik, yaitu persepsi orang luar tentang perempuan Bali pada tahun 1930-an. Genre yang dipilih adalah laporan jurnalistik, yang mungkin berbeda dengan cara karya sastra merepresentasikan sosok perempuan Bali, sebagaimana telah dibahas oleh Darma Putra dalam Literary Mirror (Bab VI dan VII).

Tulisan ini menyarikan satu laporan jurnalistik yang relatif klasik dari tahun 1940an yang berjudul ‘Bali Sepintas lalu’ yang muncul dalam majalah Waktu (terbit di Medan), No. 9, Tahun III, Sabtu 26 Maret 1949:17-18. Penulisnya memakai inisial “Wk.M. – Bo”. Sangat mungkin ia adalah seorang jurnalis atau intelektual asal Sumatera. Pada era 1930-40an, Medan adalah kota yang paling dinamis di Sumatera, tempat budaya urban berkembang pesat, yang antara lain didukung oleh kaum intelektual dan penulis yang berasal dari Minangkabau.

Si penulis mengatakan, catatannya itu didasarkan atas kunjungannya (dalam satu rombongan) ke Bali tahun 1938. Si penulis itu, yang juga sudah menulis tentang “keadaan di pulau Bali dimasa sebelum perang” dalam majalah yang sama edisi tahun sebelumnya, kali ini ingin menambahi “pula sedikit pemandangan tentang keadaan kaum perempuan di Bali.” 

Perempuan Bali bebas merdeka

Menurut si pelancong dari Sumatera ini, perempuan Bali sangat independen, merdeka, dan tidak malu bila berhadapan dengan orang asing, lain sekali dengan sifat perempuan di daerah lain (ia antara lain membandingkannya dengan perempuan Jawa). “PEREMPUAN Bali, terutama mereka jang telah pernah menjeberang ke Djawa untuk menuntut peladjaran lebih landjut didalam pergaulan sehari-hari sangat bebas sekali.” Menurut si penulis, sifat ini bukan hanya tampak pada perempuan Bali “jang telah pernah menjeberang” dan “pernah bersekolah”, tapi juga “pada perempuan Bali umumnya, [d]ari kota sampai ke desa.”

Agak mengejutkan bagi si penulis itu bahwa ketika dia mendekati seorang gadis Bali yang sedang menenun, tidak kelihatan rasa malu kepada orang asing di wajah gadis itu sambil ia terus saja menenun. Demikian juga halnya dengan perempuan penjual togok (patung kayu) dari kampung: mereka bercakap-cakap saja dengan si penulis seperti berkata kepada anak sendiri. Diundangnya dia tiggal kerumahnya, kalau akan tinggal agak lama di Bali, dan malah dengan berkelakar si ibu penjual togok itu mau mencarikan dia jodoh ‘badjang’ jang ‘tjegek’ (tjantik), hartawan dan bangsawan.

Oleh karena kebebasan itu, menurut si penulis itu lagi, perempuan Bali cenderung jujur dan tidak menaruh curiga kepada orang asing. Akan tetapi hal ini pulalah yang sering disalahgunakan oleh orang luar. Sifat terbuka itu telah menyebabkan “banyak diantara gadis2 Bali jang tidak terpeladjar mendjadi korban hawanafsu kaum ‘pelantjong’ pada masa lampau.” Banyak cara yang dipakai untuk merusak kehormatan gadis-gadis Bali yang lurus hati dan jujur itu. “Ada kalanja beberapa orang ‘pelantjong’ bangsa asing pergi bertamasja bersama-sama dengan membawa beberapa orang gadis Bali desa jang tjantik” yang katanya akan dipotret di tempat yang indah-indah untuk dijadikan model. Ada juga yang dirayu dengan “deringan wang ringgit, mata wang jang sangat disukai oleh bangsa Bali itu.” Demikian antara lain catatan si penulis itu yang mengeritik perilaku sebagian pelancong asing yang sengaja memanfaatkan keluguan dan keramahan kaum perempuan Bali.

Pendidikan untuk perempuan Bali

Keadaan itu telah mendapat perhatian oleh kaum perempuan Bali yang terpelajar, khususnya guru-guru. Sementara kaum pemuda terpelajar ikut pula membantu mengawasi perilaku para pelancong asing terhadap perempuan Bali. Guru-guru perempuan, bekerjasama dengan rekan laki-laki mereka, “banjak sekali jang mengadakan kursus2 [memberantas] buta huruf”, dan “di antara kaum ibu jang banjak berdjasa didalam [gerakan] ini jalah suami isteri K[e]tut Kandia” yang menjadi “guru pada sekolah rakjat di Bangli”.

Darma Putra (2011) mencatat: Ketut Kandia banyak pula menulis puisi dan artikel di koran-koran yang terbit di Bali pada masa itu. Dalam foto yang ditampilkan di sini (diambil dari teks asal) terlihat Ketut Kandia berfoto bersama kelompok kursus yang diasuhnya di Bangli. Si penulis menyebut juga nama Nengah Rembu, School-opziener (penilik sekolah) di Klungkung yang menurutnya “berdjasa untuk kemadjuan bangsa Bali umumnja.”

Kursus memberantas buta huruf untuk kaum perempuan di Bangli. Berdiri paling kiri: Ketut Kandia (foto Wk. Misralani). (Sumber: Majalah 'Waktu', No. 9, Tahun III, Sabtu 26 Maret 1949:17).
Kursus memberantas buta huruf untuk kaum perempuan di Bangli. Berdiri paling kiri: Ketut Kandia (foto Wk. Misralani). (Sumber: Majalah 'Waktu', No. 9, Tahun III, Sabtu 26 Maret 1949:17).
Namun, si penulis mengeritik setengah perempuan Bali yang sudah terpelajar yang masih mau dipoligami: “mendjadi isteri kedua dari seorang bangsawan atau orang jang berpangkat.” Menurutnya, perempuan seperti itu bersifat materialis, yang sering “mendesak isteri [suaminya] jang pertama, sehingga ia dapat mengetjap kesenangan sendiri.” Si penulis itu menilai pikiran perempuan Bali seperti itu, walau sudah mengecap dunia sekolah, masih belum tercerahkan. Mereka tidak punya rasa toleransi dan empati antar sesama kaum perempuan.

Perempuan Bali dan sepeda

Hal lain “jang sangat mengherankan” di penulis itu “jalah banjakja [perempuan Bali] jang....pandai mengendarai sepeda.” Ini berarti bahwa memang ada ‘revolusi’ yang cukup mendasar di kalangan perempuan Bali pada tahun 1930an karena, sebagaimana dikatakan oleh Dijk, Kees van Dijk dalam artikelnya, ‘Pedal power in Southeast Asia’, dalam: Jan van der Putten and Mary Kilcline Cody (eds.), Lost Times and Untold Tales from The Malay world (Singapore: NUS Press, 2009, hlm. 268-282), kehadiran teknologi transportasi sepeda di Hindia Belanda dan wilayah-wilayah lainnya di Asia Tenggara sejak paroh kedua abad ke-19, sampai batas tertentu, telah mempengaruhi aspek sosial budaya masyarakat kolonial.

Si penulis berkomentar, kalau di Jawa pemakaian sepeda baru terbatas pada “mereka yang ‘modern’ seperti pegawai kantor, bangsa Belanda dan Tionghoa serta gadis-gadis sekolah. Sedang dikota2 ketjilnja terbatas kepada gadis2 sekolah dan kadang2 djuga perempuan latjur”. Akan tetapi di Bali perempuan biasa di desa-desa pun sudah terbiasa memakai sepeda. Di Badung si penulis melihat “dengan mata sendiri bukan hanja gadis2 jang terpeladjar atau anak2 sekolah [saja] jang berkenderaan sepeda, namun djuga perempuan2 kampung dan desa – nota bene jang buta huruf –, baik tua maupun muda banjak berkenderaan sepeda dengan lagak jang tak ada tjanggungnja.” Setelah mendapat penjelasan mengenai hubungan fenomena ini dengan keadaan alam Bali, maka “agak berkuranglah keheranan [si penulis] dan berobah mendjadi keta’djuban akan ‘kepraktisan’ orang Bali.”

Menurut si penulis pula, dalam kehidupan sehari-hari dan dalam soal “berfikir dengan setjara praktis dan ekonomis, perempuan Bali lebih madju dari lain perempuan2 di Indonesia umumnya.” Bukan sesuatu yang aneh bila kita melihat seorang perempuan Bali, bahkan juga mereka yang menjual tuak, “tak memakai badju, [dengan] ‘susur’ dimulutnja, dengan gelungnja [yang] terurai, berkendaraan sepeda, sedang dibelakangnja…penuh dengan barang dagangannja.” Di pasar-pasar tradisional di Bali. “dengan sekedjap dapat kita lihat bahwa 90% pedagang2 jang ada disana terdiri dari kaum perempuan”, kata si penulis itu lagi. Lantaran aktif dalam dalam bidang ekonomi itu, maka kaum perempuan Bali menganggap sepeda sebagai “kendaraan jang sangat praktis”, dan karena sifat mereka yang bebas dan “tak malu2 itu”, mereka “tak segan2 menjesuaikan diri untuk mengendarai sepeda dan mempergunakannja sebagai alat kendaraan untuk membawa barang2 dagangannya.”

Si penulis itu berpendapat, alangkah baiknya perempuan-perempuan di tempat lain, seperti di Jawa dan juga di kotanya sendiri, Medan, “djuga berlaku seperti perempuan Bali.” Menurutnya, jika perempuan “bakul” di Jawa “memakai sepeda seperti perempuan Bali, tentu mereka tidak usah membungkuk2an punggungnya untuk menggendong barang dagangannya jang agak berat itu”, satu faktor “jang membikin perempuan2 di daerah Solo lekas bungkuk.”

Demikianlah pandangan si penulis yang tinggal di Medan itu tentang kemajuan perempuan Bali. “Apa ada di Medan, kota dollar, seperti di Bali itu?” “(Belum, Bung!”), jawabnya sendiri.

Jang kita lihat di Bali [itu], jalah pada tahun…1938. Djadi 11 tahun jl [yang lalu]”, kata si penulis itu lagi, untuk memastikan kepada pembaca masa kini bahwa perempuan Bali sudah lama maju, malah sudah mengalahkan kaum perempuan di banyak daerah lainnya di negeri ini.

Dr. Suryadi, MA.

Staf pengajar Department of South and Southeast Asian Studies

Institute for Area Studies, Universiteit Leiden, Belanda

Sumber [1][2]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun