Mohon tunggu...
Surya Dewandari
Surya Dewandari Mohon Tunggu... -

Katakan dengan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sepotong cerita di bis Mayasari

10 Oktober 2014   22:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:33 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku naik ke dalam bis yang penuh sesak itu. Suasana panas, gerah dan pengap tak terelakkan ketika jalanan mulai macet dan kernet tetap saja memasukkan penumpang yang berdiri di pinggir jalan, hingga berjejalan di pintu bis. Seorang ibu-ibu dengan baju kuning kunyit dan kerudung panjang berwarna serupa bajunya nampak naik. Di belakangnya ikut pula seorang bapak tua dengan rambut yang sudah memutih. Mereka bergandengan masuk ke kendaraan yang tidak satupun menyisakan tempat duduk. Aku memberi jalan jalan orang-orang yang berdiri di dekat pintu agar bisa masuk ke dalam. Dengan satu tangan bergantungan ke besi di atap bis, tangan satu lagi aku mengambil tissu di dalam tas dan melap wajahku yang berkeringat.

Bis hanya bisa merayap, berhenti, lalu berjalan melambat menyusuri jalanan yang penuh kendaraan hingga ke bahu jalan. Seorang bayi menangis keras oleh suasana yang amat tidak nyaman itu. Ibunya segera mengipasi, menjejalkan botol susu ke mulutnya, lalu mendekatkan kepala si bayu dekat ke jendela berharap bayinya mendapat angin segar. Namun tangis sang bayi tak juga mau berhenti.

Hingga di perlintasan kereta, barulah bis berjalan normal. Angin dari jendela yang dibuka lebar masuk dan hawa panaspun berkurang. Suasana menjadi agak segar dan lebih tenang, karena tangis bayi itupun berangsur mandeg. Kulihat dia tidur nyenyak di gendongan ibunya. Bis berlari mengejak waktu, menyalip kendaraan-kendaraan yang ada di depannya.

Tiba-tiba terdengar seruan bernada panik yang tak jauh dari tempatku. Aku menoleh. Tepat di sampingku berdiri ibu-ibu dengan baju kuning itu menangis sambil memanggil-manggil seseorang di sebelahnya. Keadaan ribut seketika. Orang-orang dari segala arah mendorong untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya. Dan dorongan orang-orang itu membawaku ke posisiku tepat di sebelah bapak tua dengan kemeja putih bergaris serta rambut yang memutih itu.

“Papah, Papah kenapa, Pah?” seru ibu itu dengan tangisan panik dan juga bingung.

Beberapa orang meminta agar ada yang rela mengosongkan tempat duduknya untuk si bapak itu. Setelah itu beberapa orang berusaha menarik seraya membimbingnya menuju kursi kosongdi dekat bapak itu. Aku ikut memegang lengan bapak itu dan membuka jari-jarinya yang mencengkeram kuat ke sandaran kursi bis. Terasa tangannya yang basah dan dingin seperti es.

Dengan posisi terduduk, bapak itu tak juga membuka mata. Hanya mulutnya yang sesekali terbuka lebar seperti sedang menguap, lalu kembali diam tak bergerak. Ibunya masih terus menangisinya sambil menepuk-nepuk pipi si bapak, menyuruh mengucap ighstifar serta mengoles minyak angin di sekitar kepala dan lehernya.

“Ibu mau ke mana?” tanya seseorang di dekat mereka.

“Ke Tanah Abang,”

“Ibu mau ke Tanah Abang?” tanyanya lagi dengan nada heran.

“Iya, mau ngambil gaji,”

Aku menghela nafas, lalu memalingkan wajah menghindari pemandangan menyedihkan di depan mata. Aku rasa mataku ingin sekali ikut menangis, membayangkan kalau kejadian seperti itu menimpa diriku. Ya Allah, ya Allah, bisikku dalam hati.

Tiba di depan rumah sakit, beberapa menyarankan agar ibu itu membawa bapak itu ke rumah sakit. Dengan dirangkul kernet dan beberapa orang, sepasang penumpang itu diturunkan tepat di depan rumah sakit. Tidak sempat memberikan pertolongan lebih baik, karena arang-orang itu harus masuk ke dalam bis dan kembali pada urusannya masing-masing.

Beberapa saat aku melihat dari tempatku berdiri, di sebuah trotoar , si bapak itu terbujur di pangkuan si ibu yang terus menangis. Tak lama datang orang-orang merubung. Dan tak lama pula datang seorang perawat pria yang akan segera membawa bapak itu ke dalam ruang periksa.

“Aku rasa dia udah nggak ada. Badannya dingin sekali,” gumam seorang ibu kepada teman sebangkunya.

Aku tak kuasa menahan air mata yang keluar dari kelopak mata. Dadaku sesak oleh tangis.Aku menghapus mataku dengan tissu.

Bis pun kembali melaju, menuju Tanah Abang

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun