Negara ini kembali ramai dan dihebohkan oleh pernyataan seorang pengusaha dari negara tetangga yang bahasanya beda-beda tipis dengan negara ini, kata si pengusaha, negara ini itu negara miskin, sehingga orang-orangnya pun kebanyakan orang miskin, berbeda dengan negara itu, negara si pengusaha yang menurutnya merupakan negara kaya dan enggan menyamakan negara itu dengan negara ini.
Beberapa warga di negara ini pun melakukan demo, sebagai bentuk komplainnya kepada si pengusaha di negara itu. Orang-orang di negara ini menolak dikatakan miskin, baik negaranya yang miskin ataupun penduduknya. Demopun makin meluas, di prakarsai oleh anggota geng hijau yang memang sudah sangat di kenal di negara ini, para pendemo menuntut permohonan maaf dari si pengusaha yang dianggap menghina negara ini.
Si pengusaha pun minta maaf..
Polemik tidak berlanjut, negara ini memang di kenal sebagai negara yang baik dan mau memaafkan, serta mudah melupakan, apalagi masih serumpun dan (mungkin) seiman. Tidak tahu kalau tidak serumpun dan tidak seiman.
Suatu ketika anak si pengusaha di negara itu memilih melanjutkan pendidikannya di negara ini, selain karena kredibilitas kampus yang ditujunya, ia juga percaya bahwa orang-orang dinegara ini baik dan pastinya kaya-kaya, toh berdasarkan pengalaman yang di alami ayahnya, ia yakin kalau orang-orang di negara ini kaya sehingga minim tindak kriminal.
Ia pun akhirnya memutuskan kuliah di negara ini dan berteman baik dengan beberapa orang asli yang memang berasal dari negara ini, satu negara indah dengan berbagai keunikan penduduk di dalamnya.
Satu hari ia melihat ibu-ibu berdesakan di kantor pos, mengular dan membuat teras kantor pos menjadi sempit karena banyak dari ibu-ibu tersebut yang datang dengan membawa kendaraan bermotor.
"Sedang apa mereka.. ?" ujarnya kepada seorang temanya yang memang asli orang dari negara ini
"Mengantri untuk mendapatkan uang. Pemerintah negara ini menyalurkan dana tunai untuk masyarakatnya yang miskin." Ujar rekannya
Ia hanya bisa menganggukan kepala, mengetahui betapa tingginya standar miskin di negara ini. Bahkan orang miskin mempunyai kendaraan bermotor dan perhiasan yang menggantung di lehernya.
Lalu ketika bulan puasa tiba, ia melihat di televisi banyaknya orang kaya nan dermawan di negara ini yang membagi-bagikan sembako, yang katanya untuk orang miskin dan kaum dhuafa. Dan banyak dari mereka yang menganggap diri mereka miskin datang, membawa anak hingga keluarga dan berdesak-desakan. Hingga tidak jarang menimbulkan ricuh dan masalah, dari mulai terinjak-injak, sesak nafas, pingsan, hingga pulang tanpa nyawa.
"Biar dapatnya banyak.." begitu ujar salah seorang pengantri.
Banyak hal dinegara ini yang membuatnya takjub, terutama soal kata miskin yang membuat ayahnya pernah di demo.
Ada buruh yang berdemo dengan motor besarnya karena lelah menjadi miskin, pengemis yang katanya miskin namun kedapatan membawa mobil, hingga bertambahnya jumlah pengemis di tempat ibadah menjelang hari raya. Bahkan ia pernah mendengar program dari Pemerintah negara ini yang dengan embel embel miskin.
Bukankah negara ini kaya ? Mengapa kenyataannya terlihat sangat berbeda.
Mengapa mereka seolah berlomba-lomba menjadi miskin ?
Bukankah mereka tidak suka dibilang miskin ?
Mengapa mereka mau mempertaruhkan nyawa mereka hanya untuk satu plastik sembako ?
Bukankah mereka mampu membelinya ?
Mengapa mereka mengemis padahal bisa membeli mobil ?
"Mereka suka disebut miskin.. " ujar temannya singkat.